Rappler.com | April 02, 2016 10:02 AM
Menurut KontraS, proses rekonsiliasi tidak partisipatif membangun dialog dengan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk didengar tuntutannya.
JAKARTA, Indonesia—Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) menegaskan, rekonsiliasi tanpa proses hukum bukanlah solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sepanjang pemantauan KontraS, rencana rekonsiliasi atau penyelesaian lewat jalur non-yudisial yang diwacanakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan belum jelas.
Wacana ini telah berlangsung sejak 2005 dan dihangatkan kembali oleh Jaksa Agung HM Prasetyo beberapa bulan belakangan ini.
“Kami menilai proses ini sangat eksklusif dan tidak partisipatif membangun dialog dengan korban dan keluarga korban untuk didengar tuntutannya. Tidak ada satu konsultasi pun yang secara resmi dilakukan ke korban, keluarga atau komunitas korban,” ujar KontraS dalam keterangan resminya, Sabtu, 2 April.
Sementara berbagai pertemuan dilakukan antara pihak Dewan Pertimbangan Presiden yang diwakili oleh Sidarto Danusubroto, pegawai lembaga negara, beberapa ahli, dan tiga anggota Komnas HAM.
“Pertemuan demi pertemuan ini hanya menghasilkan ide untuk simposium. Patut disayangkan dan dikecam jika negara hanya mampu melakukan simposium untuk penyelesaian kasus-kasus kemanusiaan yang masif dan luas
terjadi,” ujar KontraS.
Menurut KontraS, proses yang sedang dilakukan pemerintah cukup lamban dan tidak sensitif pada korban.
“Para korban makin tua, sakit dan rentan. Sementara negara hanya berwacana tanpa kejelasan proses dan hanya akan melakukan simposium. Hal ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi dan pengingkaran terhadap janji Nawacita.”
KontraS menganggap bahwa ide simposium belum memenuhi asas keadilan bagi para korban.
Selanjutnya, KontraS mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk turun langsung menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
“(Karena) Kami menganggap bahwa Presiden Joko Widodo tidak berani menghadapi realitas pelanggaran HAM ini dan hanya melempar pada pembantu-pembantunya,” ujar KontraS.
Lalu apa rekomendasi KontraS untuk Jokowi?
“Pemerintah harus memulai, dengan membuat rumusan kebijakan, menyiapkan struktur tim kerja dan perangkat kerjanya, menjamin akses informasi dan perlindungan pengungkapan kebenaran.”
KontraS juga meminta agar Komnas HAM ikut mendorong pemerintah untuk memenuhi hak korban dalam mendapatkan keadilan.
Proses Kasus HAM berat masa lalu dimulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM, jika sudah lengkap maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan.
Komnas HAM sebelumnya juga telah membentuk tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998 dan menyimpulkan dalam laporan setebal 301 halaman, Tim Mawar adalah yang paling bertanggungjawab atas peristiwa penculikan puluhan aktivis ini.
Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk di bawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu Mayjen TNI Prabowo Subianto.
Pada tahun 2006, Komnas HAM juga telah menyerahkan laporan itu ke Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti laporan terseut. Namun, Kejagung menolak dengan dalih menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad Hoc.
Hingga hari ini, Kejaksaan belum pernah melakukan penyidikan atas kasus pelanggaran HAM berat.
Belakangan, pemerintah menyatakan sedang menggodok opsi non yudisial dengan rekonsiliasi alias meminta maaf. Keluarga korban telah menyatakan penolakan terhadap rencana tersebut. —Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar