Selasa, 19 April 2016

Siasat Svetlana si Putri Wakil Ketua PKI Bantu Korban 1965

, CNN Indonesia | Selasa, 19/04/2016 12:18 WIB

Svetlana Dayani, anak pertama Wakil Ketua PKI, Nyoto. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)  
Jakarta, CNN Indonesia -- Svetlana Dayani, putri Wakil Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia Nyoto, sadar betul efek stigma yang dia terima. Aktivitas Svetlana selalu dicurigai. Intimidasi kerap dia alami meski dia hanya melakukan kegiatan kecil.

Saat itu tiga tahun lalu di Godean, Yogyakarta, Svetlana ikut membantu acara pertemuan para penyintas atau survivor tragedi 1965, jauh dari aktivitas politik. Kegiatan itu dalam rangka pelatihan pembuatan pupuk untuk memberdayakan ekonomi lokal.

Svetlana membantu memesan makanan bagi para peserta, juga membantu mencarikan tempat kegiatan. Kebetulan lokasinya di dekat rumah Svetlana.

Jumlah peserta yang hadir tak banyak, hanya sekitar 30 orang. Namun karena kendaraan yang dipakai untuk mengangkut peserta ialah bus, jadi terkesan banyak.

Acara itu kemudian digerebek dan dibubarkan oleh kelompok tak dikenal. Aparat dan massa mencurigai Svetlana melakukan aktivitas politik yang dapat membangkitkan kembali komunisme.

"Dibilang pesertanya ratusan orang, padahal saya sediakan makanan cuma buat 30 orang," ujar Svetlana, bercerita di sela Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta.

Setelah kejadian penggerebekan itu, Svetlana perlahan mulai mengurangi kegiatan berbau sosial.


Pernah satu ketika saat Svetlana hanya membantu mengajar masak kepada para korban 1965, aparat masih saja mencurigainya. Itu terjadi baru setahun lalu.

"Saya berhenti, agak lelah. Masak saya mengajar masak saja harus ditungguin polisi," ujar Svetlana. "Saya mengajar ibu-ibu dan anak penyintas untuk bikin kue. Itu saja ditungguin sama Babinsa (Bintara Pembina Desa)."

Pada waktu lain, di Bantul Yogyakarta, Svetlana pernah ikut membuat kegiatan pemeriksaan kesehatan dan olahraga bersama para manula. Masyarakat sekitar pun dilibatkan. Tapi stigma PKI masih jadi momok menakutkan.

"Yang kami hadapi masih seperti itu. Masih banyak sekali ketakutan. Baru mendengar (kata '65) sudah takut," kata Svetlana.

Hindari kata '1965'

Kini, untuk berkegiatan bersama korban tragedi 1965, Svetlana berusaha menghidari pencantuman kata apapun yang berkaitan dengan peristiwa itu. Dia menyiasati dengan berbagai cara.

"Kalau buat spanduk, tidak ditulis '65. Ditulis penyintas saja enggak apa-apa, banyak yang enggak mengerti," ujarnya.

Kegiatan-kegiatan sosial, menurut Svetlana, mampu membuat korban yang kini kebanyakan telah sepuh menjadi punya semangat hidup. Apalagi mayoritas korban di masa lalu aktif berorganisasi.

Sayangnya selama ini para korban dipasung dan diasingkan. Kondisi itu menyiksa batin dan fisik mereka.

"Sampai sekarang, kalau saya kedatangan tamu, saya sebenarnya masih suka dilihat-lihat (sebagai anak PKI). Kalau mereka tanya, saya jawab. Kalau mereka enggak tanya, ya sudah," kata Svetlana.

Sebagai generasi anak korban, Svetlana berusaha membantu kelompok korban yang selama ini diasingkan, baik oleh masyarakat maupun negara.

"Golongan saya ini kan dikucilkan, siapa yang mau membantu mereka. Kami ingin membantu sesama sesuai kemampuan," ujar Svetlana.

Meski Svetlana paham kenapa banyak orang mencurigai bahkan menjatuhkan martabat kelompoknya, dia tak habis pikir stigma dan intimidasi masih saja mereka alami, bahkan kini lebih masif.

"Kalau dibilang sering (diintimidasi), saya sudah mulai kebal sebenarnya. Rasanya kadang capek. Kenapa mereka enggak berhenti? Apalagi yang mereka takutkan? Orang-orang tua (korban 1965) ini jalan juga sudah susah," ujar Svetlana.

Ia berkata, ketakutan terhadap label PKI saat ini sudah berlebihan.

(agk)

0 komentar:

Posting Komentar