Judul Buku: Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang
Penulis: Aiko Kurasawa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: I, 2015
Tebal: xxii + 202 halaman
ISBN: 978-979-709-972-5
Bergairahnya minat dunia akademik Barat dan Indonesia
terhadap peristiwa 1965 dan kekerasan massal yang terjadi setelahnya ternyata
tidak diikuti oleh perhatian yang besar dalam dunia akademik Jepang. Aiko
Kurasawa dalam buku terbarunya Peristiwa 1965: Persepsi dan Sikap Jepang mempertanyakan
hal ini dan menjadikan alasan ini sebagai dasar untuk menerbitkan karya
terbarunya. Kurasawa di dalam pengantarnya mengatakan bahwa “minat akan topik
ini begitu rendah di Jepang padahal Jepang sendiri memainkan peran sangat
penting dalam memuluskan lahirnya Orde Baru” (hlm. vii).
Tujuan utama dari buku ini adalah untuk menggambarkan
bagaimana respons pemerintah dan masyarakat Jepang terhadap Gerakan 30
September dan menjelaskan mengapa Jepang bisa bertahan di Indonesia setelah
krisis dan membantu kelahiran Orde Baru.
Karya ini menggunakan arsip-arsip Kementerian Luar Negeri
Jepang yang baru dibuka. Selain itu sumber utama penulisan buku ini berasal
dari arsip-arsip Kementerian Luar Negeri Inggris dan Kementerian Luar Negeri
Amerika Serikat. Kurasawa lalu melengkapi sumber penulisannya dengan
menggunakan koran, memoar dan wawancara terhadap orang-orang Jepang, termasuk
juga Dewi Sukarno. Struktur penulisan buku ini secara garis besar dibagi dalam
dua hal: pertama adalah mengenai narasi hubungan Indonesia dan Jepang sebelum
peristiwa Gestok dan bagaimana respons Jepang terhadap Gestok dan hubungan
Indonesia dan Jepang setelah tragedi tersebut.
Hubungan antara Indonesia dengan Jepang dibuka kembali
pada awal tahun 1950an saat Jepang harus membayar ganti rugi perang kepada
negara-negara yang telah dirusaknya selama Perang Dunia II. Jumlah pampasan
perang yang disepakati oleh kedua belah negara sebesar 223 juta dollar atau 12
persen saja dari tuntutan pemerintah Indonesia pada awal negoisasi tahun 1951.
Namun, menurut Kurasawa jumlah ini sangat membantu Indonesia di tahun 1958,
ketika Indonesia sedang berada dalam situasi ekonomi yang cukup berat akibat
naturalisasi aset-aset Belanda (hlm. 2). Di sisi lain, bagi Jepang pembayaran
pampasan perang ini sangat menguntungkan karena selain jumlahnya kecil,
kesepakatan ini membuka jalan bagi Jepang untuk menggantikan posisi istimewa
ekonomi Belanda di Indonesia.
Dalam buku ini Kurasawa berpendapat bahwa kesepakatan
pembayaran pampasan perang mempengaruhi keputusan Sukarno untuk mempercepat
proses nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia (hlm. 15-16).
Empat hari sebelum terjadi penyitaan bersakala nasional
atas perusahaan-perusahaan Belanda oleh para buruh Indonesia pada 2 Desember 1957,
Sukarno bertemu dengan Perdana Menteri Kishi yang berkunjung ke Indonesia untuk
membicarakan angka pasti pembayaran pampasan perang. Pada persetujuan itu
disepakati angka 223 juta dollar dan menurut Juanda kesepakatan ini ternyata
diputuskan oleh Sukarno pribadi tanpa konsultasi dengan dirinya yang terlibat
dengan masalah ini sejak awal sekali. Sukarno, dalam pandangan Juanda, sudah
demikian terobsesi dengan gagasan nasionalisasi aset-aset Belanda dan berharap
dapat mengambil langkah itu dengan segera menyelesaikan masalah dana pampasan
perang sebagai modalnya (hlm. 15).
Pembayaran dana pampasan perang menjamin posisi Jepang
menjadi istimewa dalam ekonomi politik Indonesia. Dengan implementasi proyek
pampasan perang perusahaan Jepang diberikan akses untuk melakukan berbagai
kegiatan ekonomi, di saat yang sama nyaris begitu sulit bagi negara-negara
Barat melakukannya. Jepang tidak merasa cemas dengan gagasan nasionalisme
ekonomi Indonesia dikarenakan Jepang tidak mempunyai konflik kepentingan
ekonomi dan juga belum secara masif menginvestasikan modalnya di Indonesia
(hlm. 41). Sebaliknya pemerintah Jepang mendukung langkah nasionalis Sukarno
tanpa diliputi kekhawatiran. Namun, ada satu hal yang membuat Jepang merasa
was-was, yaitu perkembangan kekuatan politik Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang semakin membesar di awal tahun 1960an. Tetapi Jepang masih berkeyakinan
bahwa pengaruh politik Sukarno masih mampu untuk mengontrol pengaruh PKI di
Indonesia.
Citra Sukarno bagi pemerintah Jepang di akhir tahun 1950an
umumnya begitu positif. Jepang menganggap Sukarno merupakan representasi
pemimpin dari Dunia Ketiga dan manghargai aspirasi politik nasionalistiknya
meskipun telah umum diketahui bahwa Jepang merupakan sekutu Amerika Serikat.
Banyak dari politisi Jepang masih dipengaruhi oleh mentalitas Pan-Asia Timur
Raya yang dipegang teguh sejak masa perang berkecamuk. Kepercayaan terhadap
Sukarno bisa dilihat dari dukungan yang diberikan Jepang saat pemerintah
Indonesia menghadapi PRRI di Bukittinggi tahun 1958. Kemudian, ketika Ikeda
Hayato, PM Jepang pengganti Kishi Nobosuke, menjadi mediator dalam konflik
ganyang Malaysia.
Akan tetapi, peristiwa simbolik yang mendorong Jepang
mengalami perubahan sikap berhadapan vis à vis dengan Sukarno adalah
terjadinya penculikan 1 Oktober 1965. Pada mulanya, Jepang tidak langsung
mengambil sikap melawan Sukarno pasca G30S namun mereka cenderung
mempertahankan status quo dengan berdiri di pihak pemerintah
Indonesia. Para diplomat Jepang di Indonesia begitu berhati-hati menyikapi apa
yang terjadi setelah peristiwa itu dan enggan untuk merintis hubungan dengan
kekuatan-kekuatan baru. Namun, ketika Jepang perlahan menyadari bahwa kekuatan
Sukarno mulai dikikis pelan-pelan oleh Angkatan Darat (AD), mereka mulai
mengambil sikap yang lebih independen terhadap Sukarno.
Faksi-faksi anti-Sukarno di dalam pemerintahan Jepang
makin besar suara dan pengaruhnya dalam mengalahkan faksi-faksi yang
pro-Sukarno. Mereka yang pro-Sukarno tidak bisa memendam kekecewaan karena
Sukarno dengan kukuh menolak untuk membubarkan PKI. Para politisi Jepang yang
pro-Sukarno secara perlahan telah keluar dari, meminjam istilah Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat, hypnotization by Sukarno (sihir dari
Sukarno). Memang masih ada faksi kecil yang belum bisa menentukan posisi dan
masih tetap mendukung Sukarno. Kedutaan Jepang di Jakarta tidak utuh secara
bulat anti-Sukarno sampai terbitnya Supersemar.
Setelah tragedi 1 Oktober, di Jawa dan Bali terjadi
pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan komunis, bahkan warga yang
tidak tahu apa-apa ikut terseret arus kekerasan massal. Para diplomat dan media
Jepang, menurut Kurasawa, mengetahui perihal peristiwa ini. Namun, pemerintah
Jepang memilih diam terhadap fakta ini daripada mengritik secara terbuka. Tiga
surat kabar Jepang, yaitu Asashi Shinbun, Yomiuri Shinbun dan Mainichi
Shinbun, mempublikasikan berita mengenai kekerasan politik yang terjadi di
Jawa, seperti serangan pada kantor-kantor PKI atau pembakaran rumah warga yang
terafiliasi PKI. Akan tetapi, pembantaian massal yang terjadi terutama di Jawa
dan Bali tidak pernah mendapatkan pemberitaan dalam skala luas oleh media-media
tersebut.
Salah satu poin menarik yang diangkat oleh buku ini
adalah bagaimana sikap Dewi Sukarno merespon situasi politik yang terjadi setelah
1 Oktober. Dewi, yang mempunyai pengaruh kuat dalam membantu kerjasama ekonomi
antara Jepang dan Indonesia, merasa bahwa pertentangan politik yang terjadi
antara AD dan Sukarno mulai menyudutkan posisi politik suaminya. Dewi yang
dikenal sebagai anti-komunis ini mulai mengupayakan rekonsiliasi antara Sukarno
dan jenderal-jenderal AD sayap kanan, khususnya Nasution. Namun, upayanya
menemui jalan buntu karena Suharto telah berniat untuk mengambil alih kekuasaan
dari Sukarno. Dewi sadar bahwa ia dan suaminya telah kalah dalam pertandingan
ketika dalam sebuah pembicaraan tidak lama setelah keluarnya Supersemar Suharto
memberikan tiga opsi kepadanya sehubungan dengan masa depan politik Sukarno.
Pertama, Sukarno bisa pergi ke luar negeri untuk beristirahat, kedua Sukarno
tetap tinggal sebagai presiden simbolis atau ketiga Sukarno mengundurkan diri
secara total.
Terbitnya Supersemar membuat peta politik hubungan
Jepang-Indonesia berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka yang masih
menyimpan simpati kepada Sukarno akhirnya mulai meninggalkan ilusi mereka.
Menurut salah seorang mantan diplomat di Kedutaan Jepang,
para staf kedutaan senang dengan keluarnya Supersemar karena mereka mengganggap
bahwa Indonesia sudah lolos dari kekacauan dan ancaman komunis. Pemerintah
Jepang merespons secara cepat perubahan politik dengan memberikan bantuan
kepada pemerintahan baru (hlm. 179).
Dengan dipukulnya PKI dan manuver Supersemar maka
dampaknya juga membawa perubahan politik dalam skala global di Asia. Habisnya
kekuatan komunis di Indonesia membawa pengaruh yang signifikan bagi Amerika
Serikat yang sedang kesulitan menghadapi Perang Vietnam dalam rangka membendung
meluasnya kekuatan komunisme di wilayah Asia Tenggara.
Menurut Kurasawa “hasil yang sangat signifikan yang membawa
pengaruh sangat kuat dan berjangka panjang pada Jepang adalah perubahan dalam
kebijakan ekonomi Indonesia” (hlm. 159). Jepang memang menikmati posisi ekonomi
yang relatif nyaman di bawah pemerintah Sukarno namun kebijakan baru ekonomi di
masa Orde Baru memberikan keuntungan yang lebih dahsyat lagi bagi Jepang. Pada
masa awal Orde Baru berkuasa, Jepang menjadi investor terbesar, eksportir
terbesar dan negara pemberi bantuan ekonomi terbesar sehingga ekonomi Jepang
mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat.
Ekspansi ekonomi Jepang ke Asia Tenggara menjadikan
Jepang muncul sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Namun, mayoritas orang
Jepang, menurut Kurasawa, justru tidak tahu bahwa Jepang dapat menikmati
kemakmurannya karena diawali oleh peristiwa G30S di tahun 1965. Kebijakan
ekonomi pintu terbuka yang dianut Indonesia hanya dapat dmungkinkan dengan
menggebuk dengan keras PKI sampai ke akar-akarnya dan menurunkan Sukarno dari
kursi kepresidenannya (hlm. viii).
Sumber: Wildan Sena
0 komentar:
Posting Komentar