Kamis, 14/04/2016 12:54 WIB
Presiden Joko Widodo
(keenam kiri) didampingi para petinggi negara mengunjungi Monumen
Pancasila Sakti seusai upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di
Lubang Buaya, Jakarta Timur, 1 Oktober 2015. ( ANTARA FOTO/Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Simposium Nasional Tragedi 1965, yang akan
berlangsung 17 dan 18 April mendatang, bakal mengeluarkan rekomendasi
penyelesaian pelanggaran HAM kepada pemerintah.
Ketua Panitia Pengarah Simposium, Agus Widjojo, menyebut rekomendasi itu akan berbasis kajian serta temuan dari narasumber dan dokumen. Melalui rekomendasi itu, menurut Agus, pemerintah dapat mulai menyelesaikan Tragedi 1965
"Pengungkapan kebenaran itu adalah langkah pertama yang bisa membuka semua hal," kata Agus kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/4).
Agus menuturkan, penggalian kebenaran di simposium itu akan didasarkan pada sejarah. Ia berkata, sudut pandang itu akan secara komprehensif menguak berbagai persoalan di sekitar Tragedi 1965.
"Simposium itu tidak berjalan ekslusif dan sendiri tapi bertumpu pada temuan yang sudah didapatkan lembaga atau peneliti lain," kata dia.
Agus, mantan Kepala Staf Teritorial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang juga putra pahlawan revolusi itu berkata, simposium akan menggali kerugian yang diderita para korban Tragedi 1965.
Tidak hanya korban, panitia simposium pun berharap mengidentifikasi
pelaku. "Dalam sebuah tindak kekerasan, selalu ada dua pihak," ucapnya.
Meski demikian, Agus tidak dapat menjamin pemerintah akan menjalankan rekomendasi simposium. "Itu sepenuhnya tergantung pemerintah," tuturnya.
Menuai Kritik
Direktur Eksekutif Human Right Watch, Kenneth Roth, dalam kunjungannya ke Jakarta, kemarin, mengharapkan pengungkapan Tragedi 1965, tidak hanya berhenti pada penyelenggaraan simposium.
"Debat publik penting diadakan, kalau hanya para akademisi saja tidak sama," kata dia.
Kenneth juga menekankan urgensi keterbukaan dan kejujuran dalam proses rekonsiliasi antara korban dengan pemerintah. Ia berkata, rehabilitasi yang rencana masuk ke dalam materi simposium belum cukup sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi.
"Perlu ada kebenaran. Kesempatan korban untuk bicara dan didengarkan suaranya," ujar dia.
Merujuk pada kerangka acuan kegiatan (terms of reference) yang
ia terima, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
Haris Azhar mengeluhkan simposium yang hanya berkutat pada aspek
historis.
"Sesi terakhir baru membicarakan upaya penyelesaian HAM. Saya tidak melihat ada kata-kata janji negara untuk menyelesaikan tragedi ini," kata Haris. (abm)
Ketua Panitia Pengarah Simposium, Agus Widjojo, menyebut rekomendasi itu akan berbasis kajian serta temuan dari narasumber dan dokumen. Melalui rekomendasi itu, menurut Agus, pemerintah dapat mulai menyelesaikan Tragedi 1965
"Pengungkapan kebenaran itu adalah langkah pertama yang bisa membuka semua hal," kata Agus kepada CNNIndonesia.com, Kamis (14/4).
Agus menuturkan, penggalian kebenaran di simposium itu akan didasarkan pada sejarah. Ia berkata, sudut pandang itu akan secara komprehensif menguak berbagai persoalan di sekitar Tragedi 1965.
"Simposium itu tidak berjalan ekslusif dan sendiri tapi bertumpu pada temuan yang sudah didapatkan lembaga atau peneliti lain," kata dia.
Agus, mantan Kepala Staf Teritorial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang juga putra pahlawan revolusi itu berkata, simposium akan menggali kerugian yang diderita para korban Tragedi 1965.
|
Meski demikian, Agus tidak dapat menjamin pemerintah akan menjalankan rekomendasi simposium. "Itu sepenuhnya tergantung pemerintah," tuturnya.
Menuai Kritik
Direktur Eksekutif Human Right Watch, Kenneth Roth, dalam kunjungannya ke Jakarta, kemarin, mengharapkan pengungkapan Tragedi 1965, tidak hanya berhenti pada penyelenggaraan simposium.
"Debat publik penting diadakan, kalau hanya para akademisi saja tidak sama," kata dia.
Kenneth juga menekankan urgensi keterbukaan dan kejujuran dalam proses rekonsiliasi antara korban dengan pemerintah. Ia berkata, rehabilitasi yang rencana masuk ke dalam materi simposium belum cukup sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi.
"Perlu ada kebenaran. Kesempatan korban untuk bicara dan didengarkan suaranya," ujar dia.
|
"Sesi terakhir baru membicarakan upaya penyelesaian HAM. Saya tidak melihat ada kata-kata janji negara untuk menyelesaikan tragedi ini," kata Haris. (abm)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160414125402-20-123938/simposium-tragedi-1965-disebut-akan-buka-fakta-sejarah-baru/
0 komentar:
Posting Komentar