Senin, 11 April 2016
“Pak, bagaimana caranya seseorang bisa jadi tapol?”
Foto: Screen shoot film Pulau
Buru Tanah Air Beta
Kehadiran sekitar 10 ribu tahanan politik (tapol) di
Pulau Buru diam-diam membuat cemburu penduduk asli sekitar pulau tersebut.
Betapa tidak, di Pulau Buru, lahan perkebunan dan pertanian subur dengan hasil
panen berlimpah.
Maklum, seluruh lahan mendapatkan pengairan yang baik berkat
sistem irigasi, yang dibangun sendiri oleh para tapol. Saking cemburunya
mereka, saat ada pejabat dari Jakarta yang datang meninjau para tapol, sejumlah
warga asli di sekitar Pulau Buru turut hadir untuk menyampaikan unek-unek
mereka.
“Pak, bagaimana caranya seseorang bisa jadi tapol?” begitu seorang warga pernah mengutarakan kecemburuannya.
Laporan Pertama dari Pulau Buru, yang ditulis oleh
Djamal Marsudi, menyebut pertanyaan itu sebagai hal jujur tanpa tendensi politik.
Sebuah pertanyaan yang memang didasari kenyataan bahwa kondisi di lingkungan
kamp para tapol di Pulau Buru telah memberikan pengaruh sangat besar kepada
mereka.
Buku terbitan PT Intibuku Utama Djakarta pada 1971 itu diberi pengantar
oleh Ketua Umum Sekretariat Bersama Golkar Letnan Jenderal TNI Soekowati.
Tahanan politik turun dari kapal dan menuju lokasi penampungan di Pulau
Buru.
Foto: Screen shoot film Pulau Buru Tanah Air Beta
Foto: Screen shoot film Pulau Buru Tanah Air Beta
Bisa disimpulkan bahwa buku ini tak lebih dari alat
propaganda penguasa kala itu. Selain menguraikan kondisi Pulau Buru yang lebih
baik setelah kehadiran para tapol, buku setebal 62 halaman itu menjelaskan
latar dipilihnya daerah tersebut untuk menampung para tapol.
Untuk memberikan
legitimasi bahwa semua yang terjadi di Pulau Buru berlangsung sesuai dengan
prosedur, sejumlah wartawan asing dan utusan Palang Merah Internasional pernah
diizinkan masuk ke Pulau Buru pada pertengahan 1969.
Hasilnya, Dr Ronald Matri, Kepala Bagian Kesehatan Palang
Merah Internasional, yang berkunjung ke sana selama empat hari, menyatakan,
meski terisolasi, para tapol memiliki kebebasan hingga tingkatan tertentu.
Indikasinya, pintu utama gerbang dibiarkan terbuka lebar tanpa kawat berduri
lazimnya penjara ataupun kamp konsentrasi di Jerman pada era Nazi. Ia juga
melihat hubungan para tapol dengan petugas keamanan terjalin baik.
“Umumnya mereka tidak dihinggapi suatu tekanan, kelihatan segar bugar, dan gembira,” kata Matri seperti ditulis buku tersebut.
Sementara itu, Jaksa Agung Soegih Arto dalam keterangan
di hadapan para kepala perwakilan diplomatik di Jakarta menyebut para tapol itu
ibarat duri dalam masyarakat.
Karena itu, mereka sengaja dikucilkan sebagai
pembelajaran supaya bisa menjalani hidup baru kelak bersama keluarganya. Pulau
Buru sengaja dipilih karena lokasinya jauh dari Ibu Kota Jakarta yang sensitif.
Dengan mereka bisa bekerja sendiri, otomatis biaya hidup selama di sana tak
membebani pemerintah. Ia menekankan, Pulau Buru bukan kamp konsentrasi seperti
di luar negeri.
“Di sana tidak ada kerja paksa karena hasil kerja para tapol di bidang pertanian untuk kepentingan mereka dan keluarga mereka sendiri,” ujarnya.
Sepasang suami-istri warga asli Pulau Buru
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru
Sebagai alat propaganda, isi buku tersebut tentu sangat
jauh berbeda dengan buku-buku memoar yang ditulis para mantan tapol. Trikoyo
Ramidjo, misalnya, pada 2009 menerbitkan Kisah-kisah dari Tanah Merah:
Cerita Digul Cerita Buru. Dalam buku itu, dia memaparkan betapa getirnya
selama tujuh tahun menjadi tapol di Pulau Buru.
"Di Digoel tidak ada pagar kawat berduri, tidak ada penjagaan ketat seperti tahanan politik Orba (Orde Baru) Pulau Buru. Belanda tidak sekejam Soeharto,"
Sudarno, mantan tapol Pulau Buru yang kini bermukim di
Pekalongan, Jawa Tengah, secara lebih detail mengisahkan pedihnya perlakuan
yang dialaminya.
Ketika pertama kali hidup di Pulau Buru pada Agustus 1970, ia
bersama ribuan tapol lainnya diharuskan mencabuti rumput berduri tanpa alat.
Sebab, sabit dan cangkul untuk membuka lahan baru tersedia beberapa hari
kemudian. Mereka menanami lahan dengan jagung dan singkong di bawah todongan
senjata. Kalau gerimis turun, mereka tetap bekerja karena akan menerima pukulan
bila nekat berteduh.
Menurut tentara yang menjaga para tapol, manusia tidak
boleh seperti garam, yang meleleh saat kena air. Jadi, meski hujan lebat, para
tapol harus tetap bekerja. Sebelum lonceng berbunyi tepat pukul 12 siang,
mereka tidak boleh beristirahat.
“Dipukuli itu sudah biasa, tidak ada yang lepas dari siksaan, termasuk saya sebagai kepala kelompok. Jadi kepala kelompok itu harus punya nyawa dobel,” tuturnya saat dihubungi detikX pada akhir Maret lalu.
Lelaki kelahiran Kajen, Pekalongan, 17 Maret 1943, itu
tak menampik jika hasil panen palawija, perkebunan, dan pertanian di Pulau Buru
melimpah ruah. Tapi sebagian besar dijual, dan hanya sebagian kecil yang
dikonsumsi para tapol.
“Ada yang menggergaji kayu untuk dijadikan papan dari pohon meranti di tengah hutan, tapi papan dijual oleh komandan tentara. Kami ini ya capek saja. Kadang-kadang dikasih garam, gula, atau kamper,” tutur Sudarno.
Ia ditangkap dan dipenjarakan hanya karena pernah menjadi
Komandan Peleton Sukarelawan Pengganyangan Malaysia dari unsur pegawai negeri.
Tapi kemudian dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dan terlibat pemberontakan
pada 1965.
“Saya ini orang yang tidak tahu Jakarta, belum pernah ke Jakarta, tapi dipaksa mengakui ikut membunuh juga,” ujarnya.
Wartawan asing leluasa masuk dan memberitakan Pulau Buru
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru
Foto: Repro buku Laporan Pertama dari Pulau Buru
Ketua Badan Pekerja Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia Alvon Kurnia Palma menyatakan Presiden Joko Widodo sebaiknya meminta
maaf kepada orang-orang seperti Sudarno.
Jumlah mereka yang sebetulnya tak ada sangkut-pautnya
dengan Gerakan 30 September tapi kemudian ikut dikirim ke Pulau Buru tidak
sedikit. Celakanya, ketika mereka dibebaskan, stigma negatif telanjur melekat,
sehingga mereka mengalami kematian perdata.
“Wajar jika mereka yang masih hidup menuntut rehabilitasi dan ganti rugi,” ujar Alvon.
Reporter/Penulis: Pasti
Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
Detik.Com
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
0 komentar:
Posting Komentar