Kamis, 07 April 2016
Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengetahui
bahwa menjelang pernyataan resmi Pemerintah Indonesia pada 2 Mei 2016,
sebagaimana yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan HAM Luhut Binsar Pandjaitan untuk merespons
pelanggaran HAM berat di masa lalu, telah diselenggarakan beberapa
pertemuan-pertemuan eksklusif. Pertemuan-pertemuan tersebut digunakan
untuk memuluskan mekanisme non hukum melalui jalur rekonsiliasi. Tanpa
ada pemenuhan unsur Keadilan.
Pernyataan
sikap ini kami keluarkan sebagai sikap untuk mengingatkan Presiden Joko
Widodo bahwa ada banyak individu berpengaruh di sekitarnya, yang tidak
memiliki integritas untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dan
masa depan Indonesia. Oleh karena itu, kami menganggap sebagai skandal.
Sebuah keharusan bagi KontraS untuk membongkar skandal ini guna
memperjelas agenda keadilan tidak hanya bagi para korban, namun juga
martabat negara dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum di Republik.
Pertama, KontraS
mengetahui bahwa dibulan Januari 2016 Menkopolkam telah memfasilitasi
pertemuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Diketahui bahwa pada
pertemuan Jaksa Agung tidak bersedia melakukan penyidikan 7 kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu. Diketahui bahwa ada dalih yang
digunakan Jaksa Agung terhadap semua bukti –termasuk di dalamnya hasil
forensik, visum, kesaksian korban dengan menyatakan bahwa bukti-bukti
tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai bukti resmi dari hasil
penyelidikan Komnas HAM.
KontraS
mempertanyakan sampai sejauh mana Komnas HAM mampu menggelar bukti
hasil penyelidikan atas 7 berkas kasus pelanggaran HAM masa lalu?
Mengapa Jaksa Agung langsung menyatakan bukti-bukti Komnas HAM tidak
dapat dikategorikan sebagai bukti resmi setelah lebih dari 1 dekade
menggunakan strategi bolak balik berkas atas Pasal 20(3) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM? Tanpa pernah menjelaskan
bukti yang seperti apa yang valid untuk bisa dibawa ke mekanisme hukum.
KontraS mengetahui ada ribuan saksi dan korban yang telah memiliki
berkas Berita Acara Perkara (BAP) yang bisa dipanggil sewaktu-waktu
untuk memperkuat hasi penyelidikan Komnas HAM, namun beranikah Komnas
HAM melakukan ini? Apalagi mengingat terdapat 3 orang komisioner Komnas
HAM yang ternyata pro dengan proses non-hukum. Menegasikan keadilan
dengan cara instan asal cepat selesai. Diketahui bahwa tiga orang
komisioner Komnas HAM ini yang cenderung memonopoli proses komunikasi
Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.
Kedua, pasca
pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan telah dilakukan sejumlah
pertemuan eksklusif, nir-kehadiran para korban dan keluarga yang selama
ini giat melakukan advokasi melawan impunitas. Pertemuan-pertemuan
tersebut bertujuan untuk membuat narasi versi negara atas peristiwa
pelanggaran HAM yang berat, utamanya Peristiwa 1965/1966 selama 3 hari.
Acara ini diketahui akan didukung oleh Forum Solidaritas Nusa
Bangsa. Pertemuan ini mulanya digagas sebagai pertemuan akademik, di
mana akademisi, universitas, peneliti sejarah akan berpartisipasi aktif
dalam diskusi. Namun demikian, ada upaya-upaya yang ingin mengerdilkan
gagasan sebagai ‘forum rekonsiliasi’, sebuah aktivitas yang akan
memfinalisasi seluruh proses advokasi korban dan keluarga tanpa
menghadirkan makna keadilan.
Diketahui bahwa
pada simposium ini ada harapan dari Menkopolkam untuk mengundang para
pelaku, mereka yang diduga kuat terlibat dalam pelanggaran HAM yang
berat hingga mengundang beberapa nama kontroversial seperti, yang kami
dengar, Haji Lulung. Forum simposium diketahui didukung oleh Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di bawah ampuan Sdr. Sidharta D.
dengan dukungan 2 nama yaitu Agus Widjojo dan Andi Widjajanto di bawah
koordinasi Menkopolkam.
KontraS
mempertanyakan apa landasan dokumen, informasi dan utamanya metodologi
yang digunakan oleh tim simposium ini? Bagaimana forum ini
bisa memberikan ruang partisipasi kepada korban jika para pelaku
dan orang-orang bermasalah di mata hukum dan HAM juga berada di tempat
yang sama tanpa ada mekanisme yang terlebih dahulu memulihkan martabat
korban dan keluarga.
Ketiga, KontraS
mengetahui bahwa jelang tanggal 2 Mei, HM. Prasetyo sebagai Jaksa Agung
akan mengeluarkan pernyataan. KontraS khawatir bahwa adanya agenda
setting yang didahului dengan pertemuan-pertemuan nir-konsultatif
tersebut kemudian akan membenarkan semua upaya untuk mengeliminir
langkah hukum dan pemenuhan prinsip-prinsip hak korban atas kejahatan
dan pelanggaran HAM yang berat.
Keempat,
kami juga mendapatkan update informasi bahwa para rektor dari sejumlah
Universitas atau Perguruan Tinggi akan dijadikan runukan justifikasi
untuk meneruskan penyelenggaraan simposium yang tidak akomodatif bagi
agenda keadilan dan kebenaran.
Melihat skandal politik hukum dan upaya mengerdilkan makna keadilan para korban dan keluarga, KontraS menyatakan:
1. Kepada
Presiden Joko Widodo segera ganti Jaksa Agung yang tidak memiliki
pemahaman hukum dengan upayanya meniadakan hukum pada proses penuntasan
pelanggaran HAM masa lalu
2. Segera
terbitkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Tim Komite
Kepresidenan untuk mengakhiri skandal politik hukum. Dana yang dipakai
untuk membentuk simposium bisa digunakan secara strategis untuk
memperkuat agenda penegakan hukum kasus pelanggaran HAM masa
lalu sebagai upaya keadilan bagi para korban.
3. Evaluasi
3 individu komisioner Komnas HAM yang secara terang tidak menjalankan
mandatnya dan cenderung menghambat upaya korban untuk mencari keadilan.
Jika perlu mandat harus dicabut.
4.
Mengingatkan para rektor untuk tidak menjadi alat pembenar bagi proses
rekonsiliasi ini jika tidak menerapkan moralitas hukum dan kemanusiaan.
Para rektor harus berdiri sesuai prinsip-prinsip keilmuan, mengatakan
yang benar dan yang sebenar-benar ya melalui terapan ilmu yang relevan
dan tepat.
Jakarta, 7 April 2016
Badan Pekerja KontraS,
Haris Azhar, SH, MA
Koordinator
http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2260
0 komentar:
Posting Komentar