Pekerjaan kotor itu bukan satu tindakan kriminal yang melawan hukum,
melainkan pekerjaan buruh rendahan dan tani yang memiliki derajat paling
bawah dalam masyarakat kolonial. Pekerjaan inilah yang banyak dilakoni
masyarakat.
Setelah keluar sekolah, para murid-murid sekolah
pemerintah akan merasa jijik untuk membantu pekerjaan rakyat itu, karena
pekerjaan rakyat dianggap tidak bersih atau sederajat dengan kedudukan
mereka sebagai kaum terpelajar.
Pemikiran yang ditanamkan pada
murid sekolah pemerintah inilah yang obrak-abrik Tan Malaka. Dengan
memberikan satu pemahaman bahwa setiap pekerjaan tingkatnya sama, maka
akan menciptakan hubungan yang rapat dengan rakyatnya.
Setelah
adanya hubungan yang erat dengan rakyat, diharapkan para murid sekolah
Tan Malaka dapat menyadari akan arti penting persatuan dan senang
mendirikan perkumpulan-perkumpulan rakyat di bawah pimpinan mereka
sendiri.
"Di sekolah diceritakan nasib kaum proletar di Hindia
dan negara-negara lain, dan juga mengapa nasib mereka begitu buruk..
Kewajiban yang harus mereka pikul setelah mereka dewasa, membela
berjuta-juta kaum proletar," tegasnya.
Pada rapat-rapat SI dan
gerakan buruh, para murid yang sudah mengerti didorong aggar mau
berbicara di muka umum, supaya mengikuti suara kaum Pak Kromo dan
mengeluarkan pikiran, serta perasaan kaum miskin yang berjuta-juta.
Dengan
mengikuti proses tersebut, setelah dewasa para murid sekolah Tan Malaka
akan terbiasa mengeluarkan suara mereka yang mewakili kaum proletar,
tidak hanya dalam bentuk buku, melainkan terjun langsung di tengah
rakyat.
Sejak pertama didirikan, pada 6 Juni 1921, murid sekolah
Tan Malaka langsung berjumlah 50 orang dan menjadi 120 orang pada
Agustus 1921. Usulan agar membuka sekolah-sekolah Tan Malaka di lain
tempat juga terus bermunculan.
Bahkan banyak gedung sekolah yang
sudah dibangun, tetapi tidak ada gurunya. Rendahnya gaji yang ditawarkan
pada sekolah ini membuat kesulitan yang harus dihadapi oleh Tan Malaka.
Namun kesulitan itu bukan kendala berarti.
Dengan lihai, Tan
Malaka mendirikan sekolah guru untuk mengajar di sekolahnya. Setelah
persoalan guru berhasil diatasi, timbul masalah lain yang lebih gawat.
Tan Malaka ditangkap dan dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Penangkapan dan pembuangan Tan Malaka bertalian erat dengan aktivitas
politiknya dalam PKI. Ketika Semaoen pergi ke Rusia mewakili PKI pada
Kongres Bangsa-Bangsa Timur Jauh Oktober 1921, Tan Malaka menggantikan
posisinya.
Dalam Kongres PKI di bulan November 1921, Tan Malaka
terpilih menjadi Ketua PKI menggantikan Semaoen. Beberapa hari setelah
pemilihan itu, terjadi pemogokan pegawai pegadaian, di mana Tan Malaka
yang memimpin pemogokan.
Aktivitas Tan Malaka dalam pemogokan
inilah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
segera menangkap dan membuangnya. Siang dan malam, Tan Malaka diikuti
mata-mata Belanda dan pidatonya dicatat.
Pada 13 Februari 1922,
Tan Malaka akhirnya ditangkap di Bandung. Di bawah kekuasaan
sewenang-wenang perintah Gubernur Jenderal, dia dibuang dan berangkat ke
Belanda, pada 24 Maret 1922. Demikian ulasan singkat Cerita Pagi.
Sumber Tulisan *
Harry A Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Jilid I,
Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, Januari 1988. * Helen Jarvis, Tan Malaka, Pejuang Revolusioner atau Murtad? Penerbit Cermin, Cetakan Pertama, November 2000. * Tan Malaka, dari Penjara ke Penjara, Bagian Satu, Penerbit Teplok Press, Cetakan Kedua, Juli 2000. * Tan Malaka, Naar de Republik Indonesia, Penerbit LPPM Tan Malaka, Cetakan Kelima, 2013. * Paulo Freire, Pendidikan Masyarakat Kota, Penerbit LKiS, Cetakan Kedua, April 2008.
0 komentar:
Posting Komentar