Rabu, 6 April 2016 | 18:32 WIB
Menurut Direktur Asia Justice and Rights (AJAR) Galuh Wandita, pemerintah harus mengupayakan pengungkapan kebenaran lebih dulu sebelum menjalankan rekonsiliasi.
Sebab, kata Galuh, rekonsiliasi merupakan hasil dari proses pengungkapan kebenaran, mengakui adanya pelanggaran, serta ada proses peradilan.
"Hak korban itu kan holistik, kebenaran dan keadilan harus terpenuhi," ujar Galuh saat ditemui di Jakarta, Rabu (6/4/2016).
Lebih lanjut ia menjelaskan, tidak mungkin hak atas keadilan bagi korban bisa terpenuhi apabila pemerintah tidak menjalankan mekanisme penyidikan, penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran.
Dengan tidak adanya pengakuan dan rasa bersalah negara atas kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, peristiwa kekerasan dan penyiksaan dikhawatirkan terus berlangsung.
Galuh mencontohkan, pasca-peristiwa tahun 1965, kasus-kasus pelanggaran HAM lain kerap terjadi di Indonesia.
Hal tersebut terjadi karena tidak adanya proses pengungkapan fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi, kemudian muncul pemakluman dan impunitas kepada pelaku.
"Saat melanggengkan impunitas, kasus penyiksaan akan terus berulang. Karena tidak pernah ada rasa bersalah dari negara," ucapnya.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan sebelumnya menyebutkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM diharapkan selesai pada bulan Mei 2016.
"Sekarang sudah mau rampung. Kami harap, 2 Mei 2016 sudah bisa dituntaskan," ujar Luhut di kantornya, Kamis (17/3/2016).
Terdapat enam perkara HAM berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.
Penuntasan perkara tersebut, menurut Luhut, akan dilaksanakan melalui jalur non yudisial atau rekonsiliasi.
Cara tersebut sudah pasti dilaksanakan mengingat sulit jika ditempuh dengan jalan yudisial atau proses hukum.
Penulis | : Kristian Erdianto |
Editor | : Bayu Galih |
0 komentar:
Posting Komentar