April 13, 2016 10:36AM EDT
* Pertemuan Pers
Human Rights Watch dan KontraS
Hari ini kita membahas apa yang harus dilakukan soal
pembunuhan 1965. Mengapa ini ia masih masalah dan bagaimana seharusnya kita
mengatasi? Jelas, pembunuhan setidaknya setengah juta orang, dalam beberapa
bulan pada kejadian ini, adalah salah satu kejahatan paling mengerikan
sepanjang hidup kita dan, tentu saja dalam sejarah Indonesia.
Ini adalah kejahatan besar yang tak bisa
ditutup-tutupi. Keluarga mengingatnya, mereka yang selamat mengingatnya,
keturunan mereka mengingatnya. Ia adalah luka yang mereka ingin selesaikan.
Ia relevan saat ini; ia bukan hanya masalah sejarah
lama. Ini relevan karena Indonesia adalah masyarakat dan negara dengan banyak
kebhinekaan; ada perbedaan agama, perbedaan etnik, perbedaan daerah. Dan sebuah
pertanyaan besar untuk Indonesia saat ini adalah bagaimana menjembatani semua
perbedaan ini?
1965 merupakan preseden buruk dalam menangani
perbedaan tersebut. Ia menyelesaikan perbedaan lewat pembunuhan massal. Dan
karena Indonesia belum benar-benar menyelesaikannya, ia tetap menjadi sebuah
cara penyelesaian perbedaan. Cara untuk menyembuhkan dan menyadarkan masyarakat
adalah dengan secara terbuka menyelesaikan tragedi 1965, mengungkapkan
kebenaran, mengakuinya, menegakkan keadilan jika memungkinkan, dan kemudian
bergerak maju. Namun berusaha melupakan masa lalu, atau menyensor masa lalu,
membuat Indonesia terkutuk untuk mengulanginya. Human Rights Watch percaya
sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang berbeda.
Meski saya bicara di sini sebagai wakil dari sebuah
organisasi internasional, namun ini bukan permintaan masyarakat internasional
atau organisasi asing. Ini adalah permintaan masyarakat Indonesia. Saya
mendengarnya selama kunjungan saya —juga rekan saya, Andreas Harsono, dan
lainnya, yang yang telah bekerja bertahun-tahun di sini—bahwa ada keinginan
mendalam untuk menyelesaikan kejahatan mengerikan ini. Ia diinginkan dan
didesak oleh banyak warga Indonesia.
Ini jelas tak hanya dirasakan oleh para korban dan
keluarga korban, namun juga oleh banyak warga Indonesia, yang mungkin secara
pribadi tidak ada hubungan dengan pembunuhan namun ingin membangun masyarakat,
yang berlandaskan pengakuan jujur atas masa lalu dan tekad untuk tidak
melupakan, bahwa kita akan bergerak maju dan takkan mengulangi pelanggaran
hukum yang sama. Ini sungguh permintaan Indonesia, permintaan dari dalam
negeri. Ini tak ada hubungannya dengan permintaan dari luar.
Minggu depan, sebagaimana Anda ketahui, pemerintah
Indonesia akan mengadakan simposium soal ini. Ini langkah awal yang penting.
Kami memuji langkah pemerintah, ia sebuah langkah maju dan pendekatan baru;
tidak mengulang keteledoran dan melupakan masa lalu. Ini jadi usaha awal untuk
menyelesaikan masalah masa lalu.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Saya mulai
dengan salah satu yang mungkin tidak segera terjadi namun penting untuk diakui.
Ia adalah keadilan. Ketika Anda punya kejahatan sebesar ini, pembunuhan massal
yang melibatkan ratusan ribu orang, amat penting membawa arsitek pembantaian
ini ke pengadilan. Bukannya tak mungkin, tapi dalam kasus yang melibatkan
banyak pelaku ini, kita bisa meneliti pembunuhan tersebut satu per satu.
Sayangnya itu tidak realistis.
Saya juga sadar bahwa 50 tahun berlalu, tak jelas lagi
berapa orang --otak dari pembunuhan-pembunuhan tersebut-- yang masih hidup.
Jadi mungkin ada keterbatasan untuk secara praktis mencari keadilan, namun
tetap penting untuk mengupayakan keadilan, dan menjadikan para arsitek
pembunuhan tersebut --mereka yang mengatur dan mengawasi pembunuhan massal--
sebagai target untuk diadili.
Cara kedua, adalah apa yang disebut dengan rehabilitasi.
Seorang pejabat Indonesia mengatakan kepada saya kemarin bahwa keputusan
Presiden Soeharto tahun 1981 soal “Bersih Lingkungan” belum pernah dicabut dan
terus digunakan terhadap korban, keturunan korban 1965 serta mereka yang diduga
memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Ini tidak adil. Ini sebuah
contoh klasik dari hukuman bersama yang dilarang hukum internasional. Pejabat
tadi mengatakan ada setidaknya 40 juta warga Indonesia terkena
dampaknya—termasuk korban, keluarga serta keturunan korban; dia bilang ini
salah satu alasan mengapa politisi Indonesia sering bicara soal hak asasi
manusia saat kampanye. Mereka tahu ada jutaan pemilih yang terpengaruh.
Mereka tak pernah melakukan kesalahan apapun. Mereka
hanya punya kakek atau buyut yang mungkin dekat dengan PKI. Mengakhiri black
list beginian sangat penting, terus terang, lebih cepat lebih baik. Tak perlu
proses panjang lebar. Keputusan tersebut bisa dibatalkan dengan keputusan
Presiden Joko Widodo. Kami ingin keputusan tersebut dibuat sekarang. Panitia
simposium tertarik dengan wacana membatalkan praktek bersih lingkungan. Mereka
bisa bertindak cepat dengan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan keputusan.
Human Rights Watch Executive Director Kenneth Roth and
KontraS Coordinator Haris Azhar discuss joint efforts to advocate for the
Indonesian government to establish a meaningful truth and reconciliation
process for the 1965-66 massacres.
Isu yang lebih sulit adalah pertanyaan yang lebih luas
tentang bagaimana Anda menyelesaikan kekejaman masa lalu ini. Jelas ada
keinginan berbagai pejabat Indonesia yang kami temui untuk minta maaf, memberi
semacam kompensasi, dan rekonsiliasi. Semuanya baik. Pertanyaannya, kapan
permintaan maaf dilakukan? Apakah sebelum atau sesudah proses menceritakan kebenaran
masa lalu?
Menurut kami, Anda tak dapat minta maaf dengan tabula
rasa, sebuah kehampaan. Anda tak bisa rekonsiliasi berdasarkan sensor. Anda tak
bisa menerima kompensasi dalam ruang tertutup. Yang diperlukan dalam
mengungkapkan kebenaran adalah memberi kesempatan kepada para korban, mungkin
beberapa pelaku pembunuhan, dan keturunan para korban, untuk bicara terbuka,
memberikan kesaksian publik, sehingga orang Indonesia bisa mendengar sumber
dari lingkaran pertama soal penderitaan mereka. Proses menceritakan kebenaran
semacam ini merupakan dasar untuk, apa yang kami kira, sebuah laporan, kurang
lebihnya, kebenaran yang resmi.
Ketika itu dilaksanakan, maka ada kemungkinan bagi
pemerintah untuk mengakui apa yang terjadi, maka ada langkah pemerintah untuk
menyatakan duka cita dan minta maaf, maka pemerintah bisa memberi kompensasi
pada korban atau keturunan korban untuk apa yang mereka alami. Ia tindakan
nyata berdasarkan rekaman yang faktual. Ia bukan tindakan tanpa makna yang
didasarkan pada suasana ketertutupan.
Jadi dalam menilai hasil simposium, kita seharusnya
melihat, apakah ada upaya memulai proses pengungkapan kebenaran yang bermakna.
Ia adalah elemen mendasar dalam proses akuntabilitas yang efektif. Ada puluhan
negara di seluruh dunia sudah memiliki komisi kebenaran untuk menjelaskan
kekejaman masa lalu, masalah yang selalu sulit untuk ditangani. Mengapa
Indonesia tidak?
Hal terakhir saya sampaikan adalah peran Amerika
Serikat. Masih ada berbagai dokumen pemerintah Amerika Serikat tentang apa yang
terjadi pada 1965 yang belum dikeluarkan. Kami ingin mempelajari lebih banyak
tentang kerjasama, sehari-hari, antara pemerintah Amerika dengan para pembunuh
1965. Siapa yang tahu apa? Apa saluran komunikasinya?
Benarkah ada nama-nama yang disampaikan pemerintah
Amerika ke pihak Indonesia, dan lantas apa yang terjadi dengan orang-orang ini?
Ini semacam detail operasi, termasuk peranan CIA, yang akan sangat berguna
untuk diketahui, sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menceritakan
kisah 1965. Ini bukan pengganti untuk proses yang ada di Indonesia; ini hanya
salah satu bagian dari upaya pengungkapan yang lebih besar. Namun kami berpikir
bahwa Amerika Serikat bisa berkontribusi lebih besar dengan menerbitkan semua
dokumen yang relevan tersebut kepada publik.
Ini sudah dilakukan Amerika Serikat untuk kasus-kasus
lain, kebetulan sejauh ini hanya di Amerika Latin. Di bawah pemerintahan
Presiden Obama, pemerintah membuka arsip Amerika Serikat dari apa yang disebut
“perang kotor” di Brazil dan Argentina; presiden sebelumnya membuka arsip yang
relevan dengan Chili, El Savador dan Guatemala. Ia ikut menyumbang proses
pengungkapan kebenaran di negara-negara tersebut.
Praktisnya, mengingat resistensi dalam birokrasi
Amerika Serikat, khususnya dalam CIA, Amerika membukanya ketika negara yang
bersangkutan minta secara resmi berbagai dokumen tersebut ketika sedang dalam
proses mencari kebenaran yang berarti. Dalam kasus Indonesia, Komnas HAM telah
membuat permintaan resmi pada pemerintahan Obama untuk membuka dokumen. Itu
langkah yang sangat penting. Dalam pertemuan kami dengan pejabat Indonesia,
kami mendesak pemerintah Indonesia sendiri meminta Amerika Serikat membuka
dokumen tersebut. Kami berharap simposium ini membuahkan sebuah proses, yang
memungkinkan pemerintah Amerika melihat bahwa proses pengungkapan kebenaran
tengah berlangsung di Indonesia, dan dikeluarkannya arsip Amerika akan sangat
membantu proses tersebut.
Jika itu terjadi, jika ada permintaan jelas dari
pemerintah Indonesia kepada Amerika Serikat untuk sepenuhnya membuka dokumen
tersebut dan permintaan ini akan jadi kelanjutan proses pengungkapan kebenaran
di Indonesia, kami yakin Presiden Barack Obama akan melakukan hal yang benar
dan membuka dokumen tersebut, seperti yang dia lakukan pada kasus lain. Kami
sadar ada resistensi dari Tentara Nasional Indonesia, organisasi Islam macam
Nahdlatul Ulama, dan lain-lain.
Ada beberapa pihak yang tak ingin proses pengungkapan
kebenaran ini bergerak maju. Di sinilah peran masyarakat sipil. Semakin pers
berteriak menuntut untuk mengungkapkan yang sebenarnya, semakin banyak
masyarakat sipil terlibat, semakin banyak dukungan politik bagi Presiden Jokowi
untuk mengatasi resistensi ini dan bergerak maju, baik dalam pengungkapan
kebenaran di Indonesia maupun dalam meminta bantuan Amerika Serikat dan
pemerintah lainnya, membuka arsip mereka dan menyumbang penulisan sejarah.
Jadi kita melihat simposium minggu depan sebagai awal
dari apa yang kita harapkan sebagai perubahan yang bersejarah; awal dari upaya
pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan masa lalu yang gelap, dan bergerak
maju, tidak melupakan masa lalu namun mengungkapkan semaksimal mungkin apa yang
terjadi, mengakuinya, dan meletakkan dasar untuk mengatasi perpecahan dalam
masyarakat sesuai dengan hukum. Ini adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa
Indonesia tak akan mengulangi masa yang mengerikan itu.
Terima kasih.
Source: HumanRightsWatch
0 komentar:
Posting Komentar