Oleh: Risang Iwan Fadillah | 8 April 2016, 8:33 wib
Sudah lama menjadi prinsip
penting, mana ada "rekonsiliasi" politik tanpa "kemenangan
politik korban". Sebutkan di negara mana jika itu pernah ada! Rezim para
pelaku pasti akan berupaya dengan cara apapun untuk tak dianggap salah atau
dituduh mewarisi rezim bermasalah. Jikapun rekonsiliasi dipaksakan dalam versi
rezim para pelaku, ia hanya akan jatuh pada ritual drama yang penuh buih2
pepesan kosongnya.
Rekonsiliasi bagi rezim
jadinya hanya semata lip service benteng diri agar tak ada lagi orang atau
kelompok yang menggugat-gugat kesalahan sejarah masa lalu kembali. Jika
skenario rezim diterapkan dan rekonsiliasi abal2 berhasil, maka siapapun yang
nanti menggugatnya sudah pasti akan dicap sebagai perusuh yang tak mengenal
keadaban dan sekaligus rasa etis trimakasih.
Rekonsiliasi abal2 hanya
akan mendorong terbangunnya benteng2 impunitas dan ini berarti tak ada apapun
yang bisa dihasilkan untuk membuka secara adil atas sejarah kebiadaban yang
wajib diakui. Rekonsiliasi tanpa niat pengungkapan kebenaran dan jiwa
penyelesaian hukum yang adil hanya selalu menyisakan rongga luka yang
menyakitkan.
Rekonsiliasi bukan semata
harapan akan hadirnya prosedural dan mekanisme2 legal teknis penyelesaian
masalah. Rekonsiliasi tidak juga semata seremoni jabat tangan dan selesailah
urusan. Rekonsiliasi tak ada makna apapun jika menempatkan kuasa negara justru
lebih dominan dari semuanya. Rekonsiliasi harus berpihak sepenuhnya pada
keadilan korban. Berikan kesempatan dan mekanisme yang adil setiap penyintas
untuk merumuskannya.
Berharap pada niat baik
negara seolah menjadi frase doa yang santun terdengar. Karena dalam kredo kuasa
politik, power kekuasan tak mungkin dengan sukarela hati akan diserahkan.
Melakukannya berarti sebuah kekalahan besar. Jika rekonsiliasi justru akan
mengganggu dan menghancurkan martabat legitimasi kuasa, mengapa itu harus
dipilih.
Bukankah itu pil maha pahit yang akan ditelan negara sendiri.
Seridaknya mungkin itu yang masih mengendap dalam nalar berpikir rezim para
pelaku saat ini.
Saya sendiri masih belum
bisa membaca niat baik itu hadir dan berproses dengan benar, dan juga sama
sekali sepenuhnya belum sanggup percaya pada rumus "politik niat
baik" jika berbagai pelengkapan dan prasyarat sistem penopangnya sama
sekali belum disiapkan.
Stigma pada korban masih
dirawat bahkan negara selalu membiarkannya, hukum dan lembaga penegak hukum
masih amburadul dan bermasalah, elit kekuasaan masih didominasi oleh para elite
dan kroni para pelaku, sistem politik masih belum berubah nyata, dukungan
kelembagaan sosial politik belum menunjukan mobilitas keseriusannya, sikap dan
arah kepemimpinan politik yang masih setengah hati dan enggan untuk benar2
merumuskan gagasan rekonsiliasi yang adil bagi korban, dan masih banyak catatan
yang lain yang memungkinkan jika rekonsiliasi abal2 dilaksanakan maka akan
kontraproduktif bagi cita2 membangun fondasi bangsa ke depan.
Lebih tepatnya rekonsiliasi
bukan soal membuat situs legal teknis semata, tetapi jstru bagian proses dan
praksis perjuangan sesungguhnya. Rekonsiliasi bukan hak mengemis dan meminta2.
Rekonsiliasi adalah sepenuhnya adalah tuntutan sejarah korban dan itu menjadi
kewajiban negara untuk memenuhinya. Setidaknya hari ini justru terlihat
logikanya terbalik, negara melalui manuver politiknya 'memaksa' para penyintas
korban untuk tunduk pada skenario yang telah disuguhkan. Sekali lagi, menyalahi
dan menafikkan prinsip mendasar dari tuntutan suara korban, mustahil akan
menghasilkan konsensus rekonsiliasi yang berkeadilan.
Jumat, 08 April 2016
Rekonsiliasi Abal-abal !
https://www.facebook.com/guntur.narwaya/posts/10206667317537258
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar