Fariz Fardianto | 1:00 PM, May 03, 2016
Keluarga dan penyintas akan kirim surat kepada Menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mendatangi kuburan massal korban tragedi 1965
Heryani Bisono terlihat ramah saat menyapa tamu di
rumahnya di Jalan Blimbing, Peterongan, Semarang. Di usianya yang hampir
90 tahun, sorot matanya tampak jernih menggambarkan sosok perempuan
cerdas pada masanya.
Heryani lalu mempersilakan Rappler duduk di kursi ruang tamu. Ia bilang sekarang sering tinggal bersama pembantunya di rumah.
"Sepeninggal suami, saya sekarang tinggal sama pembantu. Anak saya di Jakarta," kata Heryani, pada Jumat pagi itu, 29 April.
Gaya bicaranya tegas dan teratur, meski rambutnya telah
memutih. Ketegasannya juga ia tunjukkan kala menjadi dosen jurusan
sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada 1965 silam.
"Dulu sebelum ditangkap sama tentara, saya mengajar di
UGM. Sedangkan suami Bisono Wiwoho yang bergelar doktor, jadi kepala
rumah sakit paru-paru di Yogyakarta," kata wanita kelahiran Medan, 24
November 1933 ini.
Sembari memperlihatkan foto dirinya berada di penjara, ia
mengaku tak tahu mengapa bisa ditangkap saat Indonesia bergejolak pada
1965. Sebab, hidupnya kala itu hanya dihabiskan di ruang kuliah.
Mengajar, mengajar, dan mengajar adalah nyawanya dan suaminya.
"Saya bahkan ditangkap usai ngajar di Yogyakarta," ujarnya.
Ia masih mengingat jelas betapa terkejutnya ia saat
mendengar deru mesin jip menghampiri rumahnya di Bulaksumur Blok S,
Yogyakarta. Alih-alih bersikap sopan terhadapnya, tentara justru
membentaknya seraya menariknya secara paksa masuk ke jip.
"Sudah, ibu pokoknya ikut sama saya ke Denpom (Detasemen
Polisi Militer),” kata Heryani menirukan kata-kata tentara yang
menangkapnya.
Kejadian itu terjadi tatkala ia berusia 23 tahun. Usia
yang sangat muda bagi seorang perempuan cerdas untuk menapaki karirnya
lebih tinggi di UGM.
Ia mengingat saat itu sang suami selain menjadi dokter,
juga aktif sebagai Ketua Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). HSI yang
beranggotakan mayoritas dokter ternyata dituduh terlibat gerakan
pemberontakan 1965.
"Suami lebih dulu ditangkap saat berkumpul dengan teman-temannya di Blora. Saya sedih kalau ingat itu," katanya getir.
Heryani lalu meringkuk di dalam jerusi sel tahanan Lapas
Wirogunan, Yogyakarta, selama enam bulan. Perasaan getir bercampur kesal
berkecamuk di dadanya. Apalagi, ia tak tahu kabar kedua anaknya serta
suaminya yang belakangan ditahan di Pulau Buru.
"Enggak ngerti, salah saya apa kok tiba-tiba ditangkap. Dan ternyata, banyak teman juga ditangkap," katanya.
Mengajar di dalam penjara
Namun beruntung, selama enam bulan ditahan di Wirogunan,
ia terhindar dari penyiksaan seksual. Setelah itu ia dipindahkan lagi ke
Penjara Ambarawa, Semarang.
Di Ambarawa, ia lega tatkala mendapati perlakuan tentara
yang baik terhadapnya. "Saya malah disuruh mengajar bahasa Inggris di
sana," akunya sambil tersenyum simpul.
Apapun keperluan mengajar yang dimintanya, tentara selalu
memenuhinya. Perlakuan ini membuatnya senang karena dunia mengajar
menjadi penyemangat hidupnya.
"Mulai buku, papan tulis, sampai satu ruang disediakan
buat saya agar dapat mengajar bahasa Inggris buat teman-teman di
tahanan," ucapnya.
Meski begitu, ia mengaku terus kepikiran dengan nasib
kedua anaknya yang masih kecil. Tiap malam, ia selalu berdoa agar
anaknya tak bernasib sama dengannya.
Sebagai pelipur lara sekaligus obat kangen, ia pun membuat lagu yang dibantu sipir penjara Ambarawa.
Peristiwa ’65 benar-benar membuat hidupnya berbalik 180
derajat. Ia mempertanyakan sikap pemerintahan Orde Baru yang seenaknya
menuduh orang komunis.
Padahal, Heryani adalah seorang nasionalis sejati. Orangtuanya bahkan ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
"Saya tahu betul, bagaimana bapak saya berkawan dekat
dengan Bung Karno. Saat Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, bapak saya saksi hidupnya. Beliau diminta Bung Karno tinggal
di Pegangsaan Timur sebagai markas republik," paparnya.
"Malah, ketika pemerintahan republik federal dipindah ke
Yogyakarta, kami semua diminta tetap menjaga rumah Pegangsaan Timur.
Saya juga mengenyam pendidikan hingga SMA di sekolah republik Jalan
Pegangsaan. Begitu loyalnya kami terhadap negara sampai akhirnya
semuanya terenggut oleh peristiwa ’65," ucapnya.
Tragedi ’65 telah mengubah hidupnya. Dari semula bebas
mengajar sejarah Indonesia, lalu harus mendekam di sel tahanan. Hidupnya
berpindah-pindah dari penjara Wirogunan, Ambarawa, lalu dibawa ke
Plantungan Kendal.
"Di Plantungan, saya bertemu banyak tahanan wanita yang
senasib. Mereka kebanyakan dari Jawa Timur. Ada yang seorang dokter,
bidan, penari, penyanyi seriosa, dan masih banyak lagi. Meski dipenjara
tapi kami ikut bantu warga lokal yang sakit," kata Heriyani.
Pernah suatu hari ada warga yang sakit disentri. Lalu
dokter tahanan politik mengobatinya sampai sembuh. Hal itu dilakukan
seterusnya hingga para tahanan dibebaskan oleh tentara.
"Maka, jangan heran kalau waktu itu lihat banyak plastik-plastik berisi makanan yang dicantelkan di pagar penjara. Itu bentuk imbalan dari warga yang merasa dibantu oleh kami," katanya.
Bebas dari dendam
13 tahun ia hidup di balik jeruji besi yang pengap. Ia
bebas dari Plantungan pada 1980an. Pembebasannya dari penjara diwarnai
kisah-kisah yang tak terlupakan.
Di kala siang hari, satu per satu para wanita tahanan
politik diminta berbaris untuk mengisi surat pembebasan. Tiba
gilirannya, seorang tentara bertanya berulang kali.
"Ibu hari ini bebas. Ibu tidak dendam?" kata tentara itu.
"Kenapa harus dendam, Pak?" ujar Heryani.
"Ya kan, udah ditahan belasan tahun. Masa enggak dendam? Enggak marah, Bu?" kata tentara itu lagi.
"Saya senang, Pak. Jadi banyak teman bisa berkumpul senasib," jawabnya.
"Ya, tapi kan ditahan lama. Masa ibu enggak marah sama sekali? Jangan dendam, ya," ucap si tentara.
Begitu seterusnya diulang-ulang kepada tahanan lain
sampai-sampai Heryani hingga kini masih mengingat jelas perkataan
tentara yang membebaskannya.
"Pasti tentara yang membebaskan saya ada perasaan takut
dan berdosa karena telah menahan saya tanpa tahu apa kesalahan saya,"
katanya.
Negara didesak minta maaf
Di sisi lain, para aktivis hak asasi manusia di Semarang
mendesak negara segera meminta maaf terhadap para korban tragedi ’65
seperti yang dialami Heryani Bisono.
Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak
Asasi Manusia, Yunantyo Adi, berpendapat permintaan maaf itu perlu
dilakukan karena pembantaian dan penangkapan dilakukan tanpa melalui
proses hukum. Banyak korban tidak terlibat tragedi ’65.
"Mereka tidak tahu apa-apa soal kasus Lubang Buaya," kata Yunantyo kepada Rappler.
Ia dalam waktu dekat akan mengirimkan surat kepada Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan untuk meminta
pemerintah mendatangi jejak kuburan massal korban tragedi ’65.
Menurutnya, itu sesuai instruksi Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang ingin mencari bukti fisik pelanggaran HAM tragedi 1965.
"Kita akan buktikan kepada Menteri Luhut apakah beliau
serius dengan ucapannya atau tidak. Kita punya bukti kuburan massal PKI
di hutan Plumbon Mangkang," kata Yunantyo.
Ia mengatakan medio 2015 silam, aktivis lokal telah
melakukan penisanan terhadap kuburan yang diduga sebagai lokasi
pembantaian tragedi ’65 di Semarang. Ia bilang ada 24 orang yang
dipendam dalam satu liang lahat.
Ada pula keterangan saksi mata dan keluarga korban yang sering mendatangi lokasi tersebut.
"Monggo, Menteri Luhut dan tim yang membongkar
itu. Mulai dari menggali, memforensik, dan menghitung jumlah korban,
lalu memakamkan ulang secara layak korban 1965 di Semarang," ujarnya.
Ia pun mengajukan syarat jika Luhut berniat membongkar kuburan massal di Plumbon.
Yang pertama, harus menerbitkan surat keputusan atau surat
forensik penggalian. Kedua, pemakaman harus dilakukan kembali biar
menjadi payung hukum nasional untuk tiap-tiap kuburan massal yang ada
saat ini.
Pengembalian jenazah di tempat semula penting karena
berkaitan dengan peninggalan sejarah. Untuk dokumentasi, negara wajib
melibatkan arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Komnas-HAM.
"Ini demi menjamin pelindungan, tata cara, juklak dan
juknis, serta jaminan akan dikembalikannya kerangka-kerangka jenazah
korban ke lokasi kuburan massal semula," ucapnya. —Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar