Mei
9, 2016 - archiple
oleh Theodora J.
Erlijna*
Setahap demi setahap, Gerwani memperkenalkan perempuan
pada dunia organisasi, diawali dengan menyelenggarakan pertemuan rutin untuk
mendiskusikan pengalaman dan kursus-kursus untuk meningkatkan ketrampilan.
Di antara periode 1945-1965, istilah PKI (Partai Komunis
Indonesia) atau Gerwani bukan kata asing atau aneh di telinga masyarakat
Indonesia. Tidak berbeda dengan sebutan untuk partai lain seperti, PNI (Partai
Nasionalis Indonesia), Masyumi, PSI, NU (Nahdlatul Ulama), dan seterusnya. Akan
tetapi, setelah tragedi berdarah 1965, PKI dengan seluruh underbouwnya, menjadi
sejenis barang haram dan najis untuk disebutkan. Sampai sekarang, PKI atau
label seperti gambar palu-arit masih seperti hantu yang terus diburu jika
sekali-kali tampil di depan publik.
Dalam periode 1945-1965 pula, seluruh organisasi Boemi
Poetra bertaburan dan saling bersaing merebut hati masyarakat Indonesia.
Gerwani, seperti juga Fatayat, Muslimat, dan gerakan perempuan lain, memiliki
kesadaran untuk mengangkat harkat perempuan Indonesia. Perasaan meluap-luap
untuk memajukan bangsa di tengah kelahiran bangsa yang baru keluar dari
penjajahan terasa menjadi semangat bersama kaum elite Boemi Poetra waktu itu.
Di antara tahun 1945-1965, Indonesia adalah bangsa yang
tengah mengalami periode transisi. Periode ketika bangsa Indonesia menghadapi
situasi baru paska “kemerdekaan” (paska kolonial). Fase ini ditandai oleh
beragam pergolakan, benturan dan konflik internal. Pergolakan tak kalah seru
ada di antara kaum perempuan. Mereka selain terlibat dalam perjuangan fisik,
juga memberi andil bagi usaha keras untuk mengentaskan buta-huruf di kalangan
mereka. Salah satunya adalah Gerwis —yang kemudian berubah nama menjadi
Gerwani, suatu badan pergerakan wanita waktu itu yang memiliki agenda kompleks
bagaimana memajukan kaumnya.
Seperti dituturkan Saraswati, anggota DPD Gerwani Jawa
Timur utusan Bojonegoro, semangat untuk memajukan bangsa mendorong terbentuknya
beragam organisasi perempuan. Akan tetapi, dalam keluhannya itu, Saraswati juga
meragukan apakah tugas berat itu dengan mudah bisa dicapai di tengah angka
buta-huruf (aksara latin) yang tinggi, lebih-lebih di kalangan massa petani
(perempuan) yang menderita sejak ratusan tahun masa penjajahan. Beratnya tugas
ini toh tak menyurutkan ia dan rekan-rekannya. Ia terus berkembang dan bekerja
keras memperjuangkan cita-cita organisasi.
Gerwis dan Gerwani
Gerwis berdiri pada 4 Juni 1950, beberapa bulan setelah Indonesia berdaulat penuh, untuk mewadahi perjuangan politik perempuan. Seperti kata Sulami yang terlibat dalam Gerwis sejak awal yang kemudian menjadi Sekjen Gerwani. “Sebuah gerakan yang … membela hak-hak wanita tidak akan dapat menyelesaikan soalnya, bila tidak dibarengi dengan melawan sebab-sebabnya yang berakar. Yaitu sistem feodal yang masih tersisa di seluruh tanah air dan sistem ekonomi politik kolonialis dan kapitalistis.”
Gagasan ini kemudian mendorong simpatisan Gerwis
mengisi ruang-ruang pendidikan dan pembinaan perempuan baik sebagai guru maupun
mentor.
Dalam sejarahnya, Gerwis merupakan hasil fusi dari enam
organisasi perempuan. Enam organisasi yang berfusi itu adalah Rupindo (Rukun
Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar
(Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura),
dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan). Jika disimak dari
organisasi ini, tak satupun yang berasal dari Jakarta, tiga di antaranya justru
berasal dari kantung-kantung pergerakan nasional paruh pertama awal abad 20:
Semarang, Bandung dan Surabaya.
Keenam organisasi ini, sebelum berfusi menjadi Gerwis,
bergiat sebagai istri sedar. Sejak Kongres Gerwis I di Surabaya, Desember 1951,
konsep ‘perempuan sedar’ menjadi bahan perdebatan sendiri. Perdebatan itu
terkait soal apakah Gerwis tetap akan mempertahankan bentuk organisasi kader
atau beralih menjadi organisasi massa untuk memenuhi target PKI untuk Pemilu
1955 (Wieringa [1999a]).
Faktanya, sampai di Kongres 1951, kesadaran politik di
kalangan peserta begitu beragam. Yang tampak jelas dalam konggres itu, misalnya
kesenjangan antara perempuan-perempuan ‘pinter’ di jajaran pemimpin yang sudah
malang-melintang dalam dunia politik sejak masa kolonial Belanda dengan
peserta-peserta kongres yang lebih muda. Saraswati menuturkan:
“…waktu itu saya nggak merasa [cukup paham] … agendanya apa gitu ya, lalu misalnya masalah apa, lalu dibentuk ko¬misi, semacam itu, saya nggak merasa. Mungkin waktu itu ditangani oleh orang yang pinter-pinter itu. … Bu [SK] Tri¬murti, Bu Suwarti, Bu Sri Panggian dari Solo itu. … Termasuk Bu [Siti Su]Ndari. Apa, itu kan termasuk orang-orang pinter. … waktu itu saya masih muda…” (Saraswati, Jakarta, 21/12/04)
Waktu itu, usia Saraswati baru 20 tahun. Pengalaman
berorganisasi yang dimilikinya sebatas sebagai juru tulis karena suaminya
seorang lurah. Seorang perempuan yang buta huruf, tidak mengerti seluk-beluk
organisasi, dan mau tak mau harus memimpin Fujinkai di desanya hanya karena
posisi suaminya. Toh, Saraswati tak bisa mengandalkan status suaminya begitu
saja. Ia bergiat dan terus-menerus belajar mengenai gagasan Gerwis tentang
keperempuanan.
Akhirnya, melalui Kongres Gerwis II (1954), kata ’sedar’
dihapus. Sedangkan nama Gerwis diubah menjadi Gerwani. Perubahan ini ternyata
juga mengubah orientasi organisasi dari garis kader menjadi garis massa.
Saraswati kian bertambah bingung. Belum usai ia belajar menyesuaikan diri
dengan para senior, perubahan orientasi menjadikannya perlu belajar lagi
tentang beda antara garis massa dan garis kader. Beda dengan Soerastri Karma
(SK) Trimurti. Salah satu tokoh perempuan yang melek pengetahuan sejak belia,
ia bercerita bahwa tidak ada perubahan yang signifikan antara Gerwis dan
Gerwani. Toh, tetap saja anggota seperti Saraswati merasa dibuat bingung.
Kebingungan ini bisa kita simak juga dalam laporan-laporan
tentang kegiatan-kegiatan Gerwani di dalam kongres yang selalu campur-aduk
tanpa kaitan yang jelas antarkegiatan untuk merespon politik nasional. Misalnya
kampanye Irian Barat, ganyang Malaysia, dan isu perdamaian dunia yang dianggap
tidak terkait langsung dengan persoalan perempuan di desa dan perkampungan
miskin perkotaan. Persoalan domestik perempuan yang direspon lebih cepat
bertumpang tindih dengan soal nasional yang juga membutuhkan reaksi dari massa
rakyat. Poligami, kawin paksa, dan perkawinan anak di bawah umur, harus
bersaing dengan isu agraria, perburuhan, dan persoalan partisipasi perempuan di
ruang publik.
Persoalan-persoalan yang mesti segera direspon Gerwani
seperti mengenai nasib tani tanpa tanah, bagi hasil yang tak adil, upah buruh
yang rendah, eksploitasi dan kekerasan terhadap buruh perempuan, bencana alam,
akses kaum miskin terhadap pendidikan, serta akses perempuan terhadap
jabatan-jabatan di pemerintahan, tidak jarang bertumpang tindih dengan isu-isu
politik nasional.
Wieringa berusaha memahami keseluruhan yang campur aduk
itu dalam konsep ’tiga medan’ perjuangan Gerwani: medan politik, medan
feminisme dan medan daerah. Dalam perjalanan hidupnya yang singkat, selama 15
tahun Gerwani terlibat untuk merumuskan politik perempuan. Melalui program
pendidikan, misalnya, Gerwani berusaha menjadi jembatan untuk menuju kondisi
perempuan ideal yang dicita-citakan, yaitu perempuan yang sadar politik dan
bergerak.
Di internal lembaga Gerwani sendiri, kesenjangan ini
bukan tak disadari. Beberapa bentuk program digiatkan untuk mengurangi
kesenjangan di antara para anggotanya. Salah satunya melalui program
anjangsana/turba.
Anjangsana dan Turba
Anjangsana dan turba merupakan media bagi para pengurus Gerwani untuk mempelajari situasi anggota dan masyarakat dimana mereka tinggal. Kedua metode ini agaknya menjadi medium kaderisasi yang lebih efektif dibanding kursus kader, yang lebih jarang diselenggarakan. Srigati menilai, pola demikian justru bisa lebih dalam menyelami persoalan perempuan lantaran sering mendapat tugas berkunjung ke cabang-cabang. Ia mengatakan:
“…di Semarang [DPD Jawa Tengah]. Lebih luas lagi pengetahuan saya, mengenai organisasi dan program emansipasi wanita, masalah pendidikan, masalah sosial, kedudukan wanita di masyarakat maupun di dalam rumah tangga, semakin saya mengerti betapa pincangnya kehidupan kedudukan wanita pada saat itu. Karena juga pendidikan yang belum begitu memadai dengan kebutuhan masyarakat bagi wanita, sehingga setelah saya di Semarang, lebih luas lagi dalam wawasan saya terhadap kewanitaan karena saya meliputi [berkeliling] Jawa Tengah…” (Srigati, 20/4/05).
Kegiatan anjangsana juga kerap dimanfaatkan untuk berbincang-bincang
secara informal antara pengurus dengan anggota. Pertemuan-pertemuan informal
seperti ini seringkali lebih efektif dibanding ceramah, karena
perempuan-perempuan yang dikunjungi lebih punya kesempatan untuk bicara.
“Gerwani itu … memang… mau ke bawah ini lho. Jadi … [kalau organisasi perempuan lain] kan ya sudah [mengadakan ceramah] di kelurahan gitu saja. Mandeg sudah. Kalau Gerwani … terus langsung tatap muka dengan mereka itu. Bisa ngomong. Kadang-kadang kalau sudah begitu ya sampai malam, cerita-cerita. … Sehingga kadang-kadang kita terus ya kelakar, ya bisa mengambil misalnya uneg-uneg gimana kalau perempuan itu…” (Saraswati, 21/12/04)
Dalam bincang-bincang santai itu, pemimpin Gerwani dapat
bertukar pikiran dengan perempuan-perempuan yang dikunjungi tentang persoalan
keseharian mereka, sekaligus memperkenalkan gagasan-gagasan Gerwani. Riani
mencontohkan bagaimana melalui perbincangan informal saat anjangsana, mendorong
anggota untuk menyekolahkan anak perempuan mereka. Ia menegaskan
“…kalo berorganisasi apapun yang penting itu home visit (anjangsana). Jadi orang itu kalo ditinjau, didekati atau dikunjungi rumahnya jadi senang. Merasa diperhatikan” (Riani, Solo, 15/4/05).
Istilah turba seringkali dipakai bergantian dengan
anjangsana. Namun, turba memiliki pengertian lain, yaitu sebagai ruang untuk
mempertemukan pimpinan yang mewakili kelas menengah dengan anggota yang umumnya
berasal dari kaum tani miskin. Para pimpinan yang mengikuti program turba,
biasanya dari tingkat cabang dan tingkat lain yang lebih tinggi. Mereka harus
tinggal selama beberapa hari di desa-desa yang telah ditentukan dan turut dalam
kegiatan setempat. Saraswati memaknai konsep turba bukan sekadar menciptakan
ruang bagi kader untuk memahami kehidupan rakyat, namun juga untuk ‘menyatu’
dengan rakyat.
“Jadi kalau dulu kan pernah …[ada] na¬manya turba, turun ke bawah, nah itu … makan bersama, tidur bersama, kerja bersama. Waktu itu entah tahun berapa, itu semua pimpinan Gerwani turun ke bawah. … jadi misalnya saya yang ditu¬gasken ya … untuk turun ke bawah itu ya. Saya diberi desa di mana itu ya. Lha itu. Terus kita lihat, di desa itu kan sudah ada Gerwani. Lha di situ kan sudah ada plan (rencana), sampai berapa hari di situ.
Misalnya plan sampai sepuluh hari di situ. Lha itu apa? Sebelum kita terjun itu mesti kita omong-omong sama Gerwani seluruh tempat ini. “Di sini ada problem apa?” nah begitu. Ada problem apa yang dalam arti bisa diban¬tu untuk memecahken [???]. … pimpi¬nan ini harus satu dengan rakyat. Harus tahu kehidupan sehari-hari rakyat itu. …Suatu contoh mereka yang laki-laki itu, pagi-pagi sudah mesti pergi ke sawah. Terus yang perempuannya apa? Nah ini, di situ harus bersama-sama kita ikut bekerja. Kalau siang, nah gimana maka¬nan sehari-hari yang mereka makan itu, dari mana ini. Jadi meneliti sampai ke situ, lalu keadaan anaknya bisa sekolah apa tidak” (Saraswati, 5/2/05).
Saraswati dan para pimpinan Gerwani lain diharuskan untuk
ikut memotong padi dan meneliti bagaimana bagi hasil dilakukan antara tuan
tanah dengan buruhnya. Menurutnya, hasil dari program turba adalah keterlibatan
Gerwani dalam memperjuangkan sistem bagi hasil pertanian yang lebih adil. Untuk
memperjuangkannya, mereka bekerja sama dengan BTI (Barisan Tani Indonesia).
Agaknya program turba untuk memahami kehidupan kaum tani juga dilakukan secara serentak hingga di Bali. Turba juga bertujuan untuk memperkenalkan wakil-wakil Gerwani di parlemen kepada massa anggota sekaligus mensosialisasikan hak politik perempuan.
”Jadi mesti tunjukkan … kita punya wakil sekarang ini. Jadi misalnya dari pusat sampai kabupaten, kita punya wakil. Lha ini lalu sedikit kita bicara. Bicara tentang demokrasi. Jadi rakyat berhak berbicara. Rakyat berhak berpendapat. Nah ini, waktu itu salurannya lewat DPR, lewat wakil rakyat.
Ini. Jadi ya apa dalam arti mengungkap apakah yang dimaksudkan dengan demokrasi … misalnya di sini, ada Bu ini, Bu [Umi] Sarjono, Bu Kartinah [Kurdi], ada siapa lagi, Mbak Siti Sundari kalau nggak salah ya. Lha itu wakil-wakil kita[1] yang dalam DPR. Jadi untuk meningkatkan kesadaran pengertian politik ya … misalnya, khususnya tentang demokrasi itu ya begitu itu caranya” (Saraswati, Jakarta, 5/2/05).
Kehadiran para pimpinan untuk melakukan turba juga
dimanfaatkan untuk menyelenggarakan ceramah tentang hak-hak perempuan,
persoalan dan tuntutannya.
“Lha pada suatu ketika, wakil DPR ini turun ke bawah. Jadi waktu itu saya pernah ngawal Bu Salawati Daud[2] sampai daerah sana, Jember, Banyuwangi. Itu. Di sini, itu saya kira. Bentuknya memang semacam apa ya kalau dulu istilahnya itu, ceramah apa-apa gitu ya. Jadi ya ceramah misalnya bicara tentang undang-undang perkawinan. Karena dia ini wakil, konkritnya wakil dari kaum perempuan. Nah ini sekalian, untuk itu mengapa kita juga bicara tentang undang-undang perkawinan. Jadi misalnya, “Cocok nggak, mau nggak, kalau kaum perempuan ini dimadu?”
Terus jawabnya mesti tidak mau.
”Nah kalau tidak mau, cocok nggak kalau di PB [pengurus besar] Gerwani punya program, menuntut undang-undang perkawinan yang landasannya itu adalah monogami?” Jadi [kalau] nggak mau, kita nentang poligami, nah misalnya itu. Jadi caranya memang macem-macem. Jadi tinggal apa program yang kita bawa ke bawah menyesuaiken dengan misalnya ini, kita sebelum ceramah itu kan sudah ngomong-ngomong dulu di kota ini apa yang menjadi persoalan, misalnya begitu. Itu kita bawa dalam pertemuan-pertemuan tersebut” (Saraswati, Jakarta, 5/2/05).
Gerwani membangun budaya politik dimana wakil-wakil mereka di parlemen harus tetap mengurus organisasi asal beserta massanya. Seperti dituturkan Andhika, ”Untuk merombak segala sesuatu itu harus satu dengan rakyat, he-eeng” (Blitar, 8/12/00).
Jadi, Andhika juga tetap melakukan pekerjaannya membela
buruh-buruh rokok perempuan atas tindak pelecehan para mandor pabrik. Selain
bertugas sebagai anggota parlemen untuk Kabupaten Blitar, Andhika juga menjadi
anggota delegasi buruh terkait tuntutan perbaikan kesejahteraan hidup. Kustini
yang menjadi anggota DPRD-GR Tingkat II Purwodadi juga ikut sebagai anggota
delegasi, menuntut dicabutnya aturan yang tidak memperbolehkan perempuan
menduduki jabatan lurah. Disamping itu, sebagai seorang guru, ia tetap
menjalankan tugas utama: mengajar.
Akhirnya, ia berhasil memperjuangkan pembangunan SD di
sebuah desa di Purwodadi melalui keanggotaannya di parlemen. Menurut Sita,
seorang ketua DPRD Tk. II Cilacap, betapapun menjadi anggota parlemen, ia masih
tetap punya waktu untuk mengurus organisasi. Sembari tertawa Ia mengatakan,
”Ketua DPR kan nggak tiap hari sidang..haha. … Ke kantor DPRD juga nggak tiap hari. Kalo ada keperluan aja” (Jakarta, 23/7/04).
Media Kumpul-kumpul Kaum Perempuan
Riani menuturkan bahwa perempuan punya kebiasaan berkumpul di sela pekerjaannya mengurus rumah tangga dan mencari nafkah. Namun kegiatan berkumpul itu biasanya hanya diisi dengan pembicaraan tak berujung yang seringkali berakhir dengan pergunjingan. Yang dilakukan Gerwani adalah mengadopsi kebiasaan yang sudah ada di kalangan perempuan dan memberinya makna dan tujuan baru. Ia mengungkapkan:
”Dadi wanita ki men ngerti kebutuhanne. Engko ditingkatne kawruhe, lan lia-liane ra mung ngumpul-ngumpul, ra mung dang-nak neng omah wae.” (Jadi wanita itu biar mengerti kebutuhannya. Nanti ditingkatkan pengetahuannya, dan lain-lainnya tidak hanya kumpul-kumpul, tidak hanya nongkrong di rumah saja.”)
Setahap demi setahap, Gerwani memperkenalkan perempuan
pada dunia organisasi, diawali dengan menyelenggarakan pertemuan rutin untuk
mendiskusikan pengalaman dan kursus-kursus untuk meningkatkan ketrampilan.
“Ya membentuk, anu, ranting. Terus kegiatan-ne opo neng kono (Di situ ada kegiatan apa). Leh mbuat kerupuk atau mbuat apa, ibu disuruh berperan serta jangan, wonten dalem miasto (di rumah saja). … mesti dipanggil [rapat anggota] … kalo di desa … Mbiyen kuwi (dulu itu) Seloso Kliwon! Ingat-ingatnya mudah gitu. … Sok tiga bulan sekali ta kalo tingkat kecamatan. … kalo, kabupaten ya enam bulan pleno-pleno itu lalu ada masalah apa laporan-laporan itu. …di samping itu kan diadakan pengertian tadi home industry (industri rumahan) dan sebagainya, tukar pengalaman … [tentang] persoalan kehidupan mereka ndak usah muluk-muluk. Yang muluk-muluk hanya kadernya mestinya. Wong sudah, sampe tingkat kecamatan mulai ya harus diisi, harus ini, ini. Isinya ini-itu ya harus untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, ndak untuk macem-macem” (Riani, Solo, 15/4/05).
Selain rapat anggota dan kursus-kursus untuk meningkatkan
ketrampilan ekonomi, media pengorganisasian lain adalah bentuk kursus
pemberantasan buta huruf dan arisan. Selain itu, Gerwani juga kerap menyelenggarakan
ceramah tentang persoalan-persoalan spesifik perempuan maupun
persoalan-persoalan lain yang lebih bersifat umum. Di Jawa Tengah,
pertemuan-pertemuan tersebut, apapun bentuknya, disebut sebagai ‘kumpulan’.
Kumpulan menjadi ajang untuk memecahkan
persoalan-persoalan keseharian perempuan. Salah satu persoalan yang
didiskusikan dalam arisan Gerwani di daerah pedesaan adalah soal pertanian.
“Pengertian-pengertian kan membutuhkan bekal diskusi.
Mendiskusikan permasalahan umpamanya pertanian kalau wong (orang) tani, wayah
nandur, “Nandur kok wohe ra akeh ki sebabe opo?” (Musim tanam, “Menanam kok,
buahnya nggak banyak itu sebabnya apa?”) “Lahane kurang apik.” (“Lahannya
kurang baik.”) Nanti kita ngajak pengurus pertanian itu. Kalo sekarang modelnya
ada, dulu mantri tani kalo sekarang PPL [Penyuluh Pertanian Lapangan] itu. …
“Nandur jagung ngene-ngene, uripe semene, kudu iki, kudu dioncori, kudu iki.”
(“Tanam jagung begini-begini, hidupnya segini, harus ini, harus diberi obor,
harus ini.”) Nah, terus itu dicoba” (Riani, Solo, 15/4/05).
Sita, pengurus Gerwani Cabang Cilacap, menganggap bahwa
yang lebih penting untuk dibahas adalah adanya aturan-aturan hukum yang berkait
dengan kepentingan kaum tani, yaitu Undang-undang Bagi Hasil [3]. Untuk itu, di
Cilacap Gerwani membentuk kelompok-kelompok tanam padi sebagai media pendidikan
bagi perempuan tani.
“… karena di sana di desa-desa itu kebanyakan orang tani,
kemudian kita bentuk kelompok ini ya, kalo kerja di sawah, tandur (nanam padi)
itu kita bentuk kelompok-kelompok … [untuk membahas] Soal undang-undangnya,
1960 kalo menanamnya kan mereka pinter, sedang kita kan nggak bisa. Ya,
undang-undangnya bagaimana, mereka punya kepala kelompok, terus tentang bagi
[hasil], ongkosnya berapa, kalo menuai tu bagi berapa …Ya, kan waktu itu ada
yang dibagi 12, yang dapetnya hanya seperdua, ada juga yang seperdua belas.
Kita mulai itu…” (Sita, Jakarta, 23/7/04).
Kumpulan juga menjadi media untuk mensosialisasikan
hak-hak perempuan dan anak. Tema ceramah yang menurut Saraswati paling menarik
perhatian kaum perempuan di Bojonegoro adalah tentang tuntutan pada pemerintah
untuk membuat undang-undang perkawinan yang melindungi hak-hak perempuan.
“… kalau kita misalnya mengadaken, kalau dulu itu
istilahnya bukan seminar ya, ceramah begitulah ya ceramah. … tentang
undang-undang perkawinan … tidak semata-semata hanya undang-undang perkawinan
tapi di sini kami mengupas tentang sistem feodalisme itu. Jadi ini … yang
artinya bisa menggugah [kaum perempuan]” (Saraswati, Jakarta, 21/12/04).
Gerwani bersama-sama Perwari, Bhayangkari, Wanita Katolik
Republik Indonesia dan sejumlah organisasi perempuan lain, gigih menuntut
penghapusan poligami dan dibuatnya undang-undang perkawinan yang melindungi
hak-hak perempuan. Namun sikap Gerwani mendua ketika Soekarno sendiri
berpoligami pada 1954. Mereka memilih untuk diam dan tidak terlibat dalam
aksi-aksi protes yang dimotori Perwari. Salah satu pertimbangan politik yang
ter¬penting adalah menjaga kepentingan politik PKI[4] yang saat itu sudah
sangat bergantung pada Soekarno[5].
Hal ini sempat menimbulkan ketegangan, terutama antara
Gerwani dengan Perwari. Namun ketegangan hanya dirasakan di kalangan pimpinan
pusat. Di daerah, seperti di Bojonegoro, Saraswati mengatakan bahwa
anggota-anggota Gerwani dan Perwari dapat bekerjasama dengan baik.
Atmi, seorang ketua Anak Cabang Gerwani Weru, Sukoharjo,
mengatakan bahwa dibanding kasus poligami dan perceraian, praktik mengawinkan
anak perempuan di bawah umur secara paksa lebih mudah ditemui di daerah
kerjanya. Namun Gerwani kesulitan menangani kasus-kasus seperti ini karena
dipandang sebagai urusan internal keluarga. Yang mereka lakukan adalah terus-menerus
mengkampanyekan dampak negatif praktik tersebut melalui ceramah atau rapat
anggota.
Soal undang-undang hak waris yang tidak memperlakukan
anak perempuan dan laki-laki secara adil juga menjadi masalah penting di
wilayah pedesaan, karena berakibat rendahnya kepemilikan tanah di kalangan
perempuan tani. Topik ini juga mewarnai rapat anggota atau ceramah di daerah
Atmi. Namun di luar berkampanye, Gerwani masih kesulitan mengatasi kasus-kasus
bagi waris yang tidak adil ini.
Di luar ceramah tentang hak-hak perempuan, kumpulan juga
diisi dengan ceramah tentang urusan kerumahtanggaan, seperti cara merawat anak,
atau kursus-kursus keterampilan. Kursus keterampilan diselenggarakan atas
instruksi DPP, namun pelaksanaannya bergantung pada keputusan rapat anggota dan
pengurus tingkat ranting maupun pada potensi di kalangan pengurus sendiri. Di
Weru, Sukoharjo, misalnya, karena Atmi memiliki kemampuan merias pengantin dan
gemar berkesenian, maka dua kegiatan itu yang diselenggarakan. Kursus
keterampilan pada intinya bertujuan mendorong kemandirian ekonomi perempuan.
Gerwani mengadopsi gagasan Istri Sedar bahwa perempuan
harus bekerja. Di sisi lain, Gerwani tidak mempersoalkan pandangan yang
menganggap perempuan-lah penanggung jawab utama rumah tangga betapapun mereka
mengecam beban ganda yang membuat perempuan tak punya waktu untuk
berorganisasi. Solusi yang ditawarkan Gerwani dalam konteks hubungan
suami-istri adalah suami harus membantu istri mengurus rumah tangga.
Dalam konteks perburuhan, Gerwani menuntut pendirian
tempat-tempat penitipan anak yang layak dan peningkatan upah. Sejalan dengan
penerimaan terhadap kodrat perempuan dalam rumah tangga, Gerwani selalu
mengupayakan agar perempuan bisa tetap aktif berorganisasi tanpa meninggalkan
kewajiban rumah tangga.
Menciptakan Ruang Partisipasi Publik Bagi Perempuan
Pada 1950, Indonesia baru keluar dari situasi perang. Pemerintah menetapkan peningkatan dan perluasan pendidikan sebagai prioritas pembangunan bangsa[6]. Pendidikan dianggap sebagai prasyarat dasar untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial di Indonesia[7]. Gerakan perempuan yang sejak paruh pertama abad 20 berpengalaman melakukan gerakan pemberantasan buta huruf, segera melibatkan diri dalam proyek nasional ini dengan membangun ratusan, bahkan mungkin ribuan, taman kanak-kanak (TK) dan kursus-kursus pemberantasan buta huruf (PBH)[8]. Gerakan perempuan menambahkan kepentingan mereka yaitu, memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak di dalam tujuan gerakan pendidikan nasional.
Gerwani, sebagai bagian dari gerakan perempuan, terlibat
dalam gerakan pendidikan nasional itu. Seperti dikatakan oleh Andhika,
“Pemberantasan buta huruf itu memang pekerjaannya [Gerwani]. Sampai di
gunung-gunung itu ada” (Blitar, 8/12/00). Gerwani mengklaim telah mendirikan 1.478
TK Melati[9] di berbagai wilayah di Indonesia. Namun lebih dari sekadar
memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak, Gerwani memaknai keterlibatan
mereka sebagai perwujudan dari hak yang sama bagi perempuan dan laki- laki
untuk berpartisipasi dalam bermasyarakat dan menentukan arah kehidupan
berbangsa.
Arah yang ingin dituju Gerwani adalah menuntaskan akar
dari kebodohan dan kemiskinan kaum perempuan sendiri, yaitu feodalisme dan
sisa-sisa kolonialisme. Oleh karena itu, mereka tidak hanya berhenti pada
menyelenggarakan TK dan kursus PBH, tapi juga melakukan aksi-aksi pembelaan
terhadap kaum tani dan buruh, dan bersama-sama dengan organisasi-organisasi
perempuan lainnya menuntut undang-undang perkawinan yang lebih demokratis.
Mereka juga menuntut pencabutan Inlandsche Gemeente Ordonnantie No. 212 yang
melarang perempuan menjadi kepala desa.
TK Melati dan Kursus PBH
Betapapun pendirian TK Melati dan kursus PBH merupakan instruksi dari DPP Gerwani, namun pelaksanaannya diserahkan pada pengurus ranting setempat. Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK. Demikian cerita Riani tentang pendirian TK Melati di kampungnya:
“Ceritanya gini. Saya guru SD negeri Purwodiningratan. … karena melihat situasi kampung anak-anak banyak terlantar dan tidak ada yang mengasuh. Pada waktu itu kebanyakan anak bakul-bakul ikan, bakul daging, prembé, orang buruh, nah anak-anak itu keliaran. Terus ada kesempatan, dan bersama-sama lalu mendirikan taman kanak-kanak. … Ya taman kanak-kanak ini sederhana sekali. Alatnya juga sederhana sekali. Mungkin dulu mejanya ya meja sederhana, dan gurunya aja saya hanya sore, pagi mengajar di SD negeri. Itu guru perjuangan, hanya kita peduli lingkungan, jadi ndak ada yang membayar ndak apa-apa … terus anak-anak itu ditampung di dekat kelurahan di Posko itu, ada rumah kosong, terus untuk taman kanak-kanak. … Satu klaas (kelas). Tapi kan karena anak-anak banyak sekali ya, dan belum teratur seperti playgroups sekarang, mereka bermain bersama daripada ndak dipiara. … [Bangunan TK di rumah kosong] Milik kelurahan… Ya bangunannya, engkrek-engkrek itu. … Mejanya meja seadanya, kursinya dingklik. …Itu ya orang partisipasi. Dadi, dari orang tua murid itu ada, dari kelurahan ada, ya siapa yang tergerak hatinya yang memberi.” (Riani, Solo, 19/4/05).
Sementara Mimi, anggota Gerwani Solo, mengadakan
penggalangan dana dengan menyewa rombongan wayang dan menjual tiket
pertunjukannya untuk mendirikan TK Melati. Uang hasil penggalangan dana
kemudian dipergunakan untuk membeli berbagai peralatan TK. Gedung TK-nya
sendiri mereka pinjamkan dari rumah salah satu warga di kampung setempat. Untuk
pendirian kursus PBH, prosesnya tidak serumit pendirian TK.
“…jadi [awalnya] hanya bikin arisan-arisan gitu, biar kita kumpul … [anggota arisan] yang buta huruf, ibu bikin kartu sekolah itu, ibu langsung yang ngajar, ah gitu ya biar mulai, maklum, walaupun dia bukan Gerwani, semua silakan untuk belajar. Ibu pinjam tempat di salah satu rumah, tapi luas tempatnya, di sana ibu minjem, pertama ibu minjam bangku sekolah dengan Pak Nasin namanya, anggota Front Nasional, kebetulan dia juga punya sekolah, terus pinjam sepuluh untuk orang-orang buta huruf itu” (Jermini, Denpasar, 17/8/00).
Selain rumah-rumah orang yang berhalaman luas dan
bangunan milik kelurahan, Gerwani juga seringkali menyelenggarakan TK Melati
atau kursus PBH di bangunan sekolah.
“Waktu itu juga banyak ya, guru-guru yang jadi anggota Gerwani, memberikan bantuan gitu. Minjamkan ruangan [kelas], juga,” kata Sita.
Murid-murid TK, seperti telah disebutkan oleh Riani dan
Mimi, adalah anak-anak desa setempat, terutama yang berasal dari keluarga
miskin. Aturan tentang biaya sekolah berbeda-beda antara satu TK Melati dengan
TK Melati yang lain, mulai dari hanya gratis hingga membayar dalam jumlah
kecil. Seperti juga peraturan tentang biaya sekolah, aturan tentang honor guru
juga berbeda-beda. Sebagian TK Melati tidak memberikan honor sama sekali pada
guru. Sebagian lain memberi honor seadanya. Namun secara umum ada keyakinan di
kalangan guru TK Melati bahwa mereka sedang berjuang sehingga honor dipandang
bukan faktor penting. Atmi yang mengajar di salah satu TK Melati mengatakan:
“Wong (orang) berjuang ya ndak pake anu (honor). Terserah
yang memberi ya [tertawa]. Menurut pemasukan itu nanti terus diambil untuk
kebutuhan pendidikan itu ya, wis (sudah), terserah pengurus Gerwani yang
memberi” (Atmi, Solo, 12/4/05).
Gerwani merekrut tenaga-tenaga guru untuk kursus PBH dan
TK Melati terutama dari kalangan anggotanya sendiri. Mereka juga mengambil
tenaga lulusan-lulusan baru sekolah guru yang sebagian di antaranya adalah
anggota Pemuda Rakyat. Syarat untuk menjadi tenaga pengajar dalam kursus PBH
dan TK Melati yang diselenggarakan Gerwani tidak terlampau berat. Perempuan
yang sudah pernah duduk di bangku SMP, betapapun tidak lulus, bisa menjadi guru
kursus PBH dan TK Melati. Raja, anggota Gerwani Tenggarong yang menjadi guru
PBH misalnya, berhenti di tahun kedua SMP. Menurut Sita, Gerwani tidak mampu
membayar tenaga guru profesional.
Oleh karena itu mereka mengandalkan anggota-anggotanya
yang pernah sekolah guru atau yang punya waktu luang. Untuk itu, Gerwani
menyelenggarakan kursus guru TK bagi calon-calon yang bukan lulusan sekolah
guru. Karena para guru secara umum berstatus relawan, maka TK Melati rata-rata
hanya bisa mempertahankan guru yang sama selama satu tahun. Namun sampai saat
ini saya belum menemukan TK Melati yang terpaksa ditutup karena tidak ada
tenaga pengajar. Umumnya sebelum berhenti mengajar, mereka sudah lebih dulu
mencari pengganti.
Bagi sebagian perempuan, aktivitas mengajar memberi
mereka ruang untuk mengekspresikan diri di luar kehidupan rumah tangga dan
membuat mereka merasa berarti, terlebih lagi guru pada masa itu dianggap sebagai
jabatan terhormat. Sumirna, anggota Gerwani asal Klaten, tidak bisa melanjutkan
SMP setelah lulus karena harus membantu pekerjaan ibunya yang sakit-sakitan.
Pada awal tahun 50-an ia menikah dengan pria yang dipilih oleh orang tuanya,
sembari aktif di Gerwani. Ia dan sejumlah rekannya menjadi guru kursus PBH di
beberapa desa dan juga guru TK. Sumirna menuturkan:
“…kan saya dulu di tempat saya itu ngajar TK, lajeng (kemudian) ngajar buta huruf. Lalu di sini sementara ya TK, lalu buta huruf-buta huruf itu. Lalu di sana sudah banyak yang [bisa] membaca-nulis.… kalau saya ke tempat bapak [orang tua] itu ya semua muji-muji. Wong dulu secara istilahnya ditinggali kepinteran, dipuji-puji saya” (Sumirna, Klaten, 22/7/00).
Tidak semua guru TK Melati adalah anggota Gerwani. Pada
1959 Supariah baru lulus dari sebuah SGB di Lampung. Gerwani Lampung
merekrutnya untuk menjadi guru di TK Melati yang mereka dirikan.
Keterlibatannya sebagai guru TK Melati itu mendorongnya masuk lebih jauh ke
dalam organisasi.
“…saya selesai SGB itu tahun 1959. Tahun ajaran 1959 ke 1960 saya diperbantukan, sudah diterima mengajar di SD [maksudnya TK] Melati, usaha punya ibu-ibu Gerwani. Karena saya sangat butuh pekerjaan dan saya kepengen bekerja, ya di mana saja saya terima. Di situlah saya mulai mengenal orang-orang yang progresif-progresif, orang yang mengenal organisasi-organisasi. Di situlah mulai terbuka. Jadi, bagaimana kesengsaraan yang saya sudah lalui itu diakibatkan oleh siapa. Dan saya itu rasanya bangkit semangat untuk mengikuti kemajuan-kemajuan atau ingin mengikuti progresif seperti ibu-ibu. Maka itulah kami mengenal, masuklah kami ke organisasi, pertama saya masuk ke Pemuda Rakyat” (Supariah, Lampung, 26/2/01).
Selain aktif dalam kegiatan Pemuda Rakyat, ia kemudian
juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan pendidikan yang diorganisir oleh LPN
(Lembaga Pendidikan Nasional)[10]. Supariah tergolong paling lama menjadi guru
TK Melati, dari 1959/60 hingga 1965.
Rupiarti punya cerita lain. Ia berhenti sekolah di tahun
pertama SMP. Berpengalaman mengajar dalam kursus pemberantasan buta huruf yang
diselenggarakan pemerintah Lampung, kemudian Gerwani merekrutnya untuk menjadi
guru TK Melati. Sebelumnya, Rupiarti harus mengikuti kursus guru TK selama
setengah bulan di Jakarta.
“… saya sekolah SD selesai tahun 1960 … terus saya ikut aktif – istilahnya pada tahun-tahun itu pemberantasan buta huruf yang diadakan oleh pemerintah saya ikut aktif, istilahnya mempelajari atau memberikan pelajaran kepada orang-orang tua yang ingin bebas buta huruf. … Terus sampai tahun – istilahnya saya memang masuk sekolah lanjutan pertama hanya enggak sampai selesai – saya hanya sampai satu tahun di situ, terus akhirnya saya keluar, karena jauhnya sekolah dari kampung yang tempat saya tinggal. Dari situ tahun 1962 saya pernah diikutsertakan …[dalam] training center. … ke Jakarta, hanya setengah bulan. … untuk [menjadi] guru TK. … Dari situ saya ikut-ikut mengajar di TK Melati” (Rupiarti, Lampung, 26/2/01).
Setelah setahun mengajar di TK Melati, Rupiarti diminta
sebagai guru bantu di sebuah SD negeri. TK Melati yang dibangun ala kadarnya
ini memilih sistem pendidikan yang murah, supaya bisa diakses oleh masyarakat
miskin. Daripada sekolah dengan peralatan lengkap namun hanya bisa dijangkau
oleh kelompok masyarakat tertentu, Gerwani lebih memilih sistem sekolah yang
bisa dijangkau kalangan manapun.
“Yang penting adalah bagaimana mendorong untuk memahami bahwa belajar adalah proses yang menggembirakan, dan membangkitkan rasa kebangsaan dan solidaritas di antara sesama rakyat,” kata Riani penuh semangat.
Titik Balik, Proses Penghancuran 1965
Awal Desember 1965. Sekelom¬pok massa aksi dari kalangan sipil berteriak-teriak di depan rumah tembok di sudut jalan. Rumah itu adalah milik Jermini, anggota DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Gerwani Bali.
“Jermini keluar, Jermini keluar,” kata-kata itu terus mengiang dan terdengar semakin kencang. Massa terus merangsek, berpen¬car di sudut-sudut jalan.
Tak kuasa menahan suara emosi massa, Jer¬mini keluar dari
pintu depan rumah sambil menggendong bayinya yang baru berusia tiga bulan.
Massa ber¬teriak-teriak, mencaci maki, dengan kata-kata kotor. Tampak beberapa
dari mereka memukul teman-teman Jermini dan menggelandangnya menuju Banjar.
Teman-teman Jer¬mini hanya terduduk diam dan lesu, tak satupun kata yang
terucap.
Persis di depan mata Jermini, seorang anggota BTI
(Barisan Tani Indonesia) sudah tak bisa bernafas lagi. Ia tewas karena amukan
massa. Tentara itu kemudian bersila di hadapan seorang mahasiswa tawanan dan
menembaknya di bagian mulut hingga tewas. Di tengah proses penembakan, seorang
laki-laki tiba-tiba menghela Jermini, menyuruhnya pergi dari tempat itu.
Pada pagi itu sekitar sepuluh orang tawanan ditembak
mati. Yang masih hidup diangkut dengan truk power menuju bekas kantor CDB
(Central Daerah Besar)[11] PKI di Sanglah yang sudah disulap militer sebagai
tem¬pat tahanan. Tapi baru beberapa bu¬lan kemudian, Jermini tertangkap. Ia
ditahan di kantor Kodim.
“Ibu terus dicari-cari di belakang pintu, didapat itu, terus ditombak sama besi lancip … “Keluar, tokoh Gerwani[12]!”. Ya, daripada anak-anak dibunuh, lebih baik dah, ibu menyerah…”
Tertangkapnya Jermini mengakhiri kisah hidup Gerwani di
daerah Bali. Orang-orang sudah tak lagi bisa melihat Jermini memberi kursus
pemberantasan buta huruf (PBH) bagi perempuan dewasa dan taman kanak-kanak (TK)
Melati, membantu tetangganya yang kesulitan, atau sekadar bercanda dengan
sesama orang-orang kampung.
Secara resmi Soeharto membubarkan Gerwani pada 12 Maret
1966. Tetapi, sejak pertengahan Oktober 1965, organisasi ini sudah dikikis,
dicaci maki dan dijadikan kambing hitam. Propaganda terus dilakukan, disertai
perburuan dan aksi kekerasan lain terhadap aktivis-aktivis Gerwani. Rumah
Andhika di Blitar yang sekaligus berfungsi sebagai kantor cabang Gerwani
dirusak pada pertengahan Oktober 1965.
“Saya dicegat Pemuda Rakyat, “Bu, jangan pulang, rumah ibu sudah dijaga dan dirusak sama tentara.” … karena ada nama board-nya … kantor Gerwani. … Ya. Gerwani Kota. Kantornya di rumah saya. … Rumah saya itu dihancurkan, papan nama itu okrek-okrek, ramai. … meja-meja itu dirusak, dihancurkan. … Meja tulis yang tebal itu juga pokoknya dihancurkan, perkakas-perkakas dihancurkan” (Andhika, 8/12/00).
Dengan membawa anak-anaknya, Andika hidup
berpindah-pindah, dari rumah ke rumah, dari kota ke kota, dan bahkan
bersembunyi di wilayah-wilayah pegunungan untuk menyelamatkan diri. Untuk
bertahan hidup, ia berjualan apa saja. Ia ditahan dua kali. Yang pertama selama
tiga bulan. Sedang yang terakhir selama 10 tahun, mulai 11 Juli 1968 hingga
1978. Peristiwa 1965 menghentikan aktivitasnya, baik sebagai anggota Gerwani
dan SBR, anggota DPRD Tk. II Blitar maupun sebagai sekretaris Gabung Organisasi
Wanita tingkat kabupaten.
Hancurnya Gerwani, hancur pula TK Melati. Militer dan
kelompok-kelompok massa sipil yang terorganisir memburu guru-guru TK Melati
yang tidak seluruhnya anggota Gerwani. Pada 15 Oktober 1965, Kodam II Bukit
Barisan melaporkan perusakan TK Melati di Medan Baru oleh massa. Riani menutup
TK Melati di kampungnya di Solo dan menyerahkan seluruh peralatan dan
perlengkapan TK kepada pihak kelurahan.
“Ya, harus diserahkan lha kalo tidak, [dianggap] tidak menyerah nanti” (Solo, 19/4/05).
Rumah Sugianti di Kebumen yang menjadi tempat
KGTK (Kursus Guru TK) Melati dan pondokan bagi calon-calon guru dibakar oleh
militer bersama-sama massa. Anggota-anggota militer melakukan pelecehan seksual
terhadap para calon guru TK Melati yang ditampung di rumah itu. Menurut
Suprapti, di wilayahnya di Lampung, banyak guru perempuan anggota Gerwani dan
organisasi-organisasi lain maupun pengajar di TK Melati menjadi korban
perkosaan komandan Buterpra yang menangkapi mereka, termasuk ia sendiri.
“… Pokoknya asal anak gadis maupun ibu-ibu yang guru SD Titipasan, SD-SD biasa, SD Negeri yang PGRI Non Vaksentral kayak gitu, kena perkosa dan guru-guru TK Melati mengalami perkosaan,” tutur Suprapti (Lampung, 26/2/01).
Peristiwa 1965 memaksa sebagian mantan aktivis Gerwani
untuk mengingkari sejarahnya sendiri. Hancurnya Gerwani, menimbulkan trauma di
sebagian anggotanya. Sebagian lagi berusaha menyelamatkan diri. Bersama
keluarganya mereka menutup rapat jejak masa lalunya dalam keterlibatannya di
organisasi itu. Seperti Wiroatmo,
“…saya orang bodoh ya nggak jadi apa-apa, gitu. Cuma
menyetujui lah gitu. … saya itu karena tidak bisa menulis, membaca, ya dulu itu
belum lancar lah. Jadi ada yang bicara sendiri, ada yang merencanakan itu, saya
cuma setuju aja” (Yogyakarta, 13/7/00).
Wiroatmo sendiri mengaku bukan simpatisan Gerwani. Pernah
ia diajari kursus memasak, tapi keterlibatannya bukan karena ia simpatisan
Gerwani. Berbeda dengan Saraswati. Posisi terakhir Saraswati sebelum peristiwa
1965 adalah sebagai anggota DPD Gerwani Jawa Timur. Menurutnya, kesuksesan
Gerwani sebagai organisasi perempuan saat itu karena aktif mendidik kaum perempuan
untuk memahami akar persoalan yang dirasakan rakyat. Toh, Gerwani menurutnya
belum sampai merumuskan gagasan-gagasan politik perempuan Indonesia.
“Meskipun suasana yang terasa waktu itu adalah anti-kolonialisme, kita belum selesai membangun sikap politik yang secara bersama bisa disepakati,” katanya.
Sayang, belum tuntas merumuskan politik perempuan bersama
Gerwani, Saraswati ditahan pada 1968, meskipun kemudian ia dibebaskan pada 1979
tanpa pernah diadili. Suaminya divonis hukuman mati dan meninggal karena sakit
jantung di LP Pamekasan. Setelah peristiwa itu, empat anaknya hidup terpisah.
Seorang anak perempuannya hilang. Melihat kenyataan sekarang, Saraswati menilai
persoalan rakyat belum selesai.
Beda lagi dengan ibu Citra. Ia menjadi anggota Gerwani di
salah satu ranting di Sukoharjo. Saat itu, menurutnya, seluruh organisasi kiri
sedang memperjuangkan dan membela hak orang miskin untuk hidup layak. Hak untuk
cukup makan, bisa mengakses layanan kesehatan dan sekolah, bisa bertempat
tinggal dengan tenang, dan hidup bermasyarakat.
“Jenenge membela nasib wong cilik, mongko wong iku hake (namanya membela hak orang kecil, apalagi orang itu haknya) hidup layak, haknya hidup layak kan. Hidup layak itu ya bisa menyekolahkan anaknya, kalau sakit ya bisa berobat, bisa gotong-royong dengan tonggo teparo (tetangga).Ya, pokoknya kebutuhan hiduplah. Bekerja ada pekerjaan untuk hidup bisa. Tuntutan rakyat kan hanya itu, apa mau beli kereta api? Ndak ada [tertawa]. Ya kalau itu sudah merata, ah rakyat tidak akan memberontak.
Tidak. Tapi kalau rakyat hidupnya sudah layak, hidup layak saja, tidak usah hidup yang gimana,… yang layak saja ndak bisa. Apalagi penderitaan gusur-gusuran wah kalau saya mendengar, habis ini belum selesai masalahnya nanti ganti kok terus menerus. … Opo meneh (apa lagi), saya mendengar sekolahan digusur. Waduh, rasa-rasanya ya, Tuhan, saya minta [tertawa] panjang hidup biar tahu sejarah…” (Ibu Citra, Sukaharjo, 9/8/04).
Citra memiliki sembilan anak ketika Peristiwa 1965
terjadi. Akhir Desember 1965 suaminya yang bekerja sebagai pembuat badge dan
anggota DPRD Tingkat II dari F-PKI ditahan, dan baru dibebaskan dua tahun
kemudian. Ia beruntung karena hanya sempat diinterogasi tanpa ditahan. Namun
selama dua tahun itu ia harus mengambil alih pekerjaan suaminya agar bisa
bertahan hidup.
Saraswati, Andhika, Wiroatmo, Citra dan ibu-ibu lain yang
diberi label sebagai Eks-Tapol kini, mungkin sudah reot, dengan tubuh yang
semakin rentan. Tapi, itu tidak berarti semangat mereka. Semangat ”melawan”
yang ditempa oleh sebangsa tindakan represi dan penghilangan. Justru karena
represi, penyiksaan dan penghilangan itu, semangat melawan melebihi usia
zamannya. Seperti dituturkan ibu Citra sekali lagi,
“Tapi ora isa (tidak bisa) hilang. Idiologi ora isa ilang, ya ijek maneh (tidak bisa hilang, ya masih lagi), masih lama maneh. Selama kamu tidak adil, dunia sini, mesti, iya tho? Itu benihnya tukul (tumbuh) sendiri. Orang itu kalau menderita tukul sendiri, iya tho? Apa diajani (diajari) orang, kan nggak?
Misalnya Buruh, “Ini kok ora mudun, piye-piye (kok tidak turun, gimana-gimana), iya saya maju.”
Itu kan tukul sendiri kan itu haknya. Bukan PKI-nya, bukan. PKI itu sudah mati, sudah ndak ada. Tapi memang tukul sendiri. Wong tani kuwi nek digawe rugi (Orang tani itu kalau dibuat merugi), itu bingung mesti” (Ibu Citra, Sukoharjo, 9/8/04).
*Peneliti Institut Sejarah Sosial Indonesia
[1]
Artinya anggota-anggota Gerwani yang terpilih sebagai anggota DPR, baik melalui
F-PKI, diantaranya Salawati Daud, Mudigdo, Suharti Suwarto, Suwardiningsih;
melalui Golkar, diantaranya Kartinah Kurdi; melalui Franksi Pembangunan
non-Partai, Umi Sardjono.
[2] Salah satu pendiri Gerwis, mantan walikota Makassar pada 1950an, anggota parlemen dari F-PKI.
[3] UU No 2 tahun 1960
[4] Gerwani berhasil memaksa PKI untuk menerima prinsip monogami untuk kader-kadernya.
[5] Untuk keterangan lebih lanjut tentang hal ini lihat Wieringa (1999a: 115-118); Martyn (2005: 134-137)
[6] Pemerintah mengalokasikan 16% anggarannya untuk pendidikan (Woodsmall 1960: 198 dalam Martyn, 2005: 230, catatan kaki no. 1). Angka ini dua kali lipat dari anggaran pendidikan pemerintah 1998/99. Pada 1999/2000, anggaran pemerintah bidang pendidikan turun menjadi 6,7% (Darmaningtyas, Pendidikan pada dan setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis, Cet. 1, Jakarta: LPIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, September 1999).
[7] M. Hutasoit, Compulsory Education in Indonesia, Netherlands: Unesco, 1954: 107.
[8] Pada 1940, 90% rakyat Indonesia buta huruf. Proporsi perempuan dalam populasi melek huruf hanya sebesar 25% (Harahap, 1959, dalam Martyn, 2005: 82). Pada 1961, proporsi perempuan dalam populasi melek huruf meningkat menjadi 34,1%. Sekitar 30% perempuan yang melek huruf tidak pernah bersekolah formal. Kemungkinan besar mereka mengikuti kursus pemberantasan buta huruf yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi perempuan (Nitisastro 1970, dalam Martyn, 2005: 86.
[9] Harian Rakyat, 11/6/64, dalam Wieringa, 1999a: 415.
[10] organ di bawah PKI yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan masyarakat, seperti Panti Pengetahuan Rakyat (setingkat SD), Balai Pengetahuan Rakyat (setingkat SMP) dan Mimbar Pengetahuan Rakyat (setingkat SMA) yang setara dengan sistem Kejar Paket A, B dan C saat ini. LPN juga mendirikan sejumlah akademi, di antaranya Ali Archam, Bahtaruddin (sosial-politik), Egom (bidang pertanian), Harjono (bidang perburuhan).
[11] Kepengurusan PKI di tingkat provinsi
[12] Gerakan Wanita Indonesia, sebelum 1954 bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Dalam esai ini saya akan memakai kedua nama secara bergantian tergantung pada periode mana yang diacu. Nama Gerwis mengacu pada periode pertengahan 1950 hingga 1954, sedang Gerwani mengacu pada sejarah organisasi perempuan ini sejak 1954 dan seterusnya.
[2] Salah satu pendiri Gerwis, mantan walikota Makassar pada 1950an, anggota parlemen dari F-PKI.
[3] UU No 2 tahun 1960
[4] Gerwani berhasil memaksa PKI untuk menerima prinsip monogami untuk kader-kadernya.
[5] Untuk keterangan lebih lanjut tentang hal ini lihat Wieringa (1999a: 115-118); Martyn (2005: 134-137)
[6] Pemerintah mengalokasikan 16% anggarannya untuk pendidikan (Woodsmall 1960: 198 dalam Martyn, 2005: 230, catatan kaki no. 1). Angka ini dua kali lipat dari anggaran pendidikan pemerintah 1998/99. Pada 1999/2000, anggaran pemerintah bidang pendidikan turun menjadi 6,7% (Darmaningtyas, Pendidikan pada dan setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis, Cet. 1, Jakarta: LPIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, September 1999).
[7] M. Hutasoit, Compulsory Education in Indonesia, Netherlands: Unesco, 1954: 107.
[8] Pada 1940, 90% rakyat Indonesia buta huruf. Proporsi perempuan dalam populasi melek huruf hanya sebesar 25% (Harahap, 1959, dalam Martyn, 2005: 82). Pada 1961, proporsi perempuan dalam populasi melek huruf meningkat menjadi 34,1%. Sekitar 30% perempuan yang melek huruf tidak pernah bersekolah formal. Kemungkinan besar mereka mengikuti kursus pemberantasan buta huruf yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi perempuan (Nitisastro 1970, dalam Martyn, 2005: 86.
[9] Harian Rakyat, 11/6/64, dalam Wieringa, 1999a: 415.
[10] organ di bawah PKI yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan masyarakat, seperti Panti Pengetahuan Rakyat (setingkat SD), Balai Pengetahuan Rakyat (setingkat SMP) dan Mimbar Pengetahuan Rakyat (setingkat SMA) yang setara dengan sistem Kejar Paket A, B dan C saat ini. LPN juga mendirikan sejumlah akademi, di antaranya Ali Archam, Bahtaruddin (sosial-politik), Egom (bidang pertanian), Harjono (bidang perburuhan).
[11] Kepengurusan PKI di tingkat provinsi
[12] Gerakan Wanita Indonesia, sebelum 1954 bernama Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Dalam esai ini saya akan memakai kedua nama secara bergantian tergantung pada periode mana yang diacu. Nama Gerwis mengacu pada periode pertengahan 1950 hingga 1954, sedang Gerwani mengacu pada sejarah organisasi perempuan ini sejak 1954 dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar